Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Saat ini kerja sama antara perbankan dan fintech dinilai belum maksimal. Salah satu pertimbangan perbankan belum banyak berkolaborasi dengan fintech dikarenakan terkait aspek legal, seperti izin penuh dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengungkapkan, aspek legal berupa izin penuh untuk suatu penyelenggara fintech memang menjadi catatan pengawas perbankan demi memitigasi risiko.
Sebab kehati-hatian terhadap izin ini menjadi penting, mengingat industri fintech sendiri baru berkembang dalam beberapa tahun terakhir, sehingga rekam jejaknya masih minim.
“Perbankan akan lebih mudah memberikan kerja sama kalau izin penuh fintech sudah diperoleh. Karena itu salah satu aspek pengurangan risiko, yakni aspek legal,” ujarnya dalam keterangannya, Kamis (6/9).
Legalitas yang jelas dari otoritas, lanjut dia, menjadi aspek utama selain aspek lain yang menjadi pertimbangan perbankan bekerja sama dengan fintech, yakni aspek komersial, prospek, hingga rekam jejak.
“Karena bisa saja seperti kemarin, sudah terdaftar tahu-tahunya status terdaftarnya batal bahkan dicabut oleh OJK. Itu akan jadi kendala bank kalau mau bekerja sama dengan mereka dalam bentuk apapun. Jadi, perlu kehati-hatian dari manajemen risiko bank tersebut,” tuturnya.
Seperti diketahui, per Agustus 2018 penyelenggara fintech terdaftar di OJK ada sebanyak 61 perusahaan. Dan pada 2 September kemarin, OJK mencabut status terdaftar untuk 5 penyelenggara fintech.
Mereka adalah Tunaiku, Dynamic Credit, Relasi, Karapoto, dan Pinjamwiwin. Pencabutan status terdaftar dilakukan karena kelima penyelenggara fintech tersebut mengganti jajaran pemegang sahamnya tanpa seizin otoritas.
David mengakui, dicabutnya izin lima penyelenggara fintech tersebut akan menambah kehati-hatian perbankan dalam bekerja sama dengan fintech. Padahal, kerja sama perbankan dan fintech bisa menjadi simbiosis mutualisme karena perbankan juga kadang membutuhkan sinergi dengan perusahaan-perusahaan fintech.
Direktur Amartha Mikro Fintek Aria Widyanto mengatakan meskipun status perusahaannya baru terdaftar, bukan berarti mereka kehilangan peluang bekerja sama dengan perbankan.
Sejauh ini, Amartha sudah mampu menjalin kerja sama dengan 20 BPR dan juga kolaborasi dengan Bank Mandiri untuk menyalurkan dana dengan plafon Rp 50—100 miliar hingga kuartal I-2019.
Hanya saja berdasarkan pengalamannya, Aria mengakui, upaya menggandeng perbankan kerap teradang regulasi yang belum spesifik tentang channeling perbankan ini.
Alhasil pengawas perbankan kerap ragu untuk menjalin kerja sama channeling dengan fintech. "Mungkin dari para pengawas perbankannya itu belum terlalu well informed. Belum ada mekanisme yang formal dari OJK, " katanya.
Saat ini, Amartha masih menunggu pemberian status izin penuh dari OJK yang seharusnya sudah di berikan pada Mei 2018 lalu. “Kami sudah memasukkan semua dokumen, ada grace period dari OJK karena kan PR-nya bukan hanya di kami, tapi di OJK-nya sendiri untuk menganalisis dokumen dan macam-macam,” ungkapnya.
Meskipun dari izin penuh dianggap sebagai suatu pertimbangan bank berkerjasama dengan fintech, Direktur Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) Ajisatria Suleiman pun yakin bisnis fintech akan tetap berjalan sekalipun penyelenggara baru berstatus terdaftar. Sebab ia yakin tidak ada perbedaan hak dan kewajiban terkait dua status yang berbeda tersebut.
Hal ini juga tidak akan berpengaruh ke upaya fintech mendapatkan lender dari badan maupun perbankan. “Setahu saya tidak ada karena ketika sudah terdaftar, dia sudah dapat melakukan kegiatannya sama seperti yang memiliki izin secara penuh. Terdaftar itu kan hanya beda di status waktunya saja,” ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News