Reporter: Nur Qolbi | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Direktorat Tindak Pidana Siber Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri menetapkan empat karyawan perusahaan fintech peer 2 peer (P2P) lending ilegal, Vloan, sebagai tersangka. Mereka terlibat dalam kasus pornografi, pengancaman, asusila, ancaman kekerasan, dan menakut-nakuti melalui media elektronik dalam menagih pinjaman ke nasabahnya. Vloan adalah fintech P2P lending milik PT Vcard Technology Indonesia.
Menurut Ketua Satgas Investasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Tongam Lumban Tobing, kasus Vloan ini adalah kasus penagihan tidak beretika aplikasi fintech ilegal di Indonesia pertama yang ditangani Polri. Oleh karena itu, menurut dia, pengusutan kasus ini masih akan berlanjut ke fintech ilegal lainnya yang melakukan penagihan tidak beretika. “Kami juga menghimbau pelaku fintech lainnya belajar dari pengalaman ini,” kata Tongam di Jakarta, Selasa (8/1).
Maklum saja, sepanjang 2018, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) RI telah memblokir 738 fintech ilegal yang terdiri dari 211 situs web dan 527 aplikasi Google Play. Secara rinci, Kemkominfo memblokir 77 situs web pada September 2018 dan 134 situs web pada Desember 2018. Kemkominfo juga memblokir 140 aplikasi di Google Play pada Agustus 2018, 171 aplikasi pada September 2018, dan 216 aplikasi pada Desember 2018. Pemblokiran ini sudah termasuk fintech ilegal Vloan.
Melihat banyaknya fintech ilegal tersebut, Tongam menghimbau masyarakat untuk tidak segan-segan melapor ke kepolisian kalau mendapat teror, pelecehan, atau tindakan yang membahayakan jiwa dari fintech ilegal ini. Ia juga menghimbau masyarakat untuk menggunakan fintech yang sudah terdaftar dan berizin di OJK.
Sebagai informasi, per 21 Desember 2018, fintech yang terdaftar OJK sudah mencapai 88 fintech.
Menurut Tongam, Indonesia menjadi sasaran empuk fintech ilegal karena akses keuangan masyarakat ke sektor formal masih sangat terbatas. Hal ini membuat masyarakat yang membutuhkan uang tidak terlayani oleh sektor formal. Keadaan ini yang dimanfaatkan para pelaku untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya dengan membuat fintech ilegal. Maka dari itu, menurut dia, Indonesia juga perlu meningkatkan literasi masyarakat dalam penggunaan teknologi ini.
Saat ditanya mengenai koordinasi dengan Google Indonesia sebagai salah satu perusahaan teknologi yang menyediakan platform untuk fintech-fintech ini, Tongam bilang pihaknya sudah berkoordinasi dengan Google. “Supaya menahan kalau ada aplikasi mengenai fintech. Tolong minta izin dulu ke OJK,” kata dia.
Memang, sistem Google adalah open source yang memudahkan orang untuk membuat aplikasi. Para pembuat aplikasi ini bisa saja memasukkan kategori aplikasi yang berbeda dari kenyataannya. “Ternyata memang dia open source, jadi pada saat kriterianya contohnya dia isi training, edukasi, atau sosial, sudah masuk dia,”
Ketidaksesuaian inilah yang perlu dideteksi bersama-sama. Menurut dia, akan sulit memengaruhi dari sisi orang yang membuat aplikasi. Oleh karena itu, yang perlu dipengaruhi adalah masyarakat Indonesia dengan terus memberikan sosialiasi dan edukasi tentang fintech yang legal.
Kepala Bidang Kelembagan dan Humas Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Tumbur Pardede mengatakan, aplikasi fintech ilegal yang ada di Google Play memang menjadi masalah. Alasannya, operator aplikasi ini dengan mudah mengganti nama. Bahkan, asalnya bisa dari negara-negara lain.
Ia mengatakan AFPI memiliki tim rutin mengecek mana saja yang termasuk fintech-fintech ilegal. “Terkadang mereka seminggu atau dua minggu ilang, terus ganti nama lagi tapi sebenanrya masih fintech yang sama,” jelas Tumbur.
Oleh karena itu, AFPI akan lebih proaktif lagi dengan menyampaikan laporannya secara rutin ke Satgas Waspada Investasi OJK serta berkoordinasi dengan Kemkominfo RI.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News