Reporter: Anggar Septiadi | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rencana penggabungan usaha antara PT Bank Pembangunan Banten Tbk (BEKS) dengan PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat Tbk (BJBR) di tengah pandemi Covid-19 mengejutkan banyak pihak. Konon, pemerintah pusat ikut campur tangan dalam aksi ini.
Rencana tersebut utamanya memang untuk menyelamatkan Bank Banten, maklum kinerja perseroan memang sulit berkembang. Sepanjang berdiri sejak 2016 hingga akhir tahun lalu, Bank Banten tak pernah sekalipun mendapat laba, rasio kredit macet juga modal minimum juga selalu berada di atas ketentuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Rekam jejak Bank Banten yang sebelumnya bernama Bank Eksekutif, dan Bank Pundi justru sejatinya dipenuhi aksi penyelamatan bank, yang sayangnya selalu gagal sehingga perlu kembali diselematkan.
Baca Juga: Bank Banten tunda rights issue karena dalam proses merger dengan Bank BJB
Mulanya pada 2009, perseroan yang kala itu bernama Bank Eksekutif mencatat kinerja yang jeblok akibat krisis keuangan pada 2008. Akibatnya rasio keuangan perseroan juga telah berada melebihi batas aman yang ditentukan kala itu.
Bank Indonesia, yang masih menjadi otoritas perbankan kala itu meminta pemilik Bank Eksekutif yaitu Keluarga Widjaja melakukan memperkuat struktur permodalan. Keluarga Widjaja tak menyanggupinya, hingga akhirnya mencari calon investor anyar.
Datanglah Recapital Group, perusahaan kongsi Sandiaga Uno dan Rosan Roeslani menggantikan posisi Keluarga Widjaja menjadi pengendali Bank Eksekutif via beberapa tahap penyertaan modal.
Bank Eksekutif kemudian dirombak total oleh Sandiaga dan Rosan. Nama perseroan diubah menjadi Bank Pundi, kemudian bisnis utama juga dialihkan dari segmen korporasi menjadi segmen UMKM.
Seremoni megah juga digelar di Monas, Jakarta pada September 2010 dengan mengundang pedagang kecil seperti yang menjual sayur, bahan pokok, hingga makanan dan minmum diundang memeriahkan acara.
Baca Juga: Riuh campur tangan Istana dalam merger Bank Banten dan Bank BJB
Nahasnya, niat Sandiaga dan Rosan memajukan Bank Pundi jauh panggang dari api. Enam tahun jadi pengendali, kinerja perseroan juga sulit terakselerasi. Rasio kredit macet selalu berada di atas 6%, capital adequacy ratio (CAR) bahkan sempat menyentuh 8%, nilai yang menunjukkan bahwa bank benar-benar sakit. Makanya dari enam tahun, cuma dua kali Bank Pundi meraih laba.
Kondisi ini pula yang kemudian bikin Sandiaga dan Rosan mesti rela melego Bank Pundi, kali ini adalah Pemprov Banten yang menyatakan minat. Pada 2016 melalui BUMD miliknya yaitu PT Banten Global Development (BGD), Pemprov Banten juga menjadi pengendali perseroan yang kemudian diubah menjadi Bank Banten.
Sebagai catatan, Pemprov Banten saat itu juga merupakan pemegang saham Bank BJB, bahkan hingga kini juga masih mengempit 6% saham. Aksi pengambilalihan Bank Pundi seiring semangat desentralisasi, di mana Pemprov Banten hendak memiliki bank daerah sendiri.
Sialnya, aksi pengambilalihan ini justru tak mulus, lantaran tersangkut kasus korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menciduk sejumlah pejabat Pemprov yang diketahui menyuap anggota DPRD dalam memuluskan aksi penyertaan modal ke BGD dalam rangka pengambilalihan Bank Pundi.
Dikendalikan Pemprov, kinerja Bank Banten juga sulit terkerek. Melanjutkan tren mencatat rugi bersih, akhir tahun lalu Bank Banten mencatat rugi Rp 137,559 miliar, rasio kredit macet 5,01%, dan CAR 9,01%. Ogah menanggung beban, rencana penggabungan dengan Bank BJB menyeruak beberapa waktu lalu.
“Pemprov Banten dari awal berupaya mempertahankan Bank Banten. Kalau melalui suntikan APBD, kami harus siapkan dana Rp 2,8 triliun. Saya sudah sampaikan ke berbagai pihak untuk menyelamatkan Bank Banten dan ini semua OJK telah memfasilitasinya. Upaya lain juga sudah dilakukan, bulan (Maret) lalu saya menemui Direktur BJB Syariah agar bisa merger untuk membentuk Bank Syariah” kata Gubernur Banten Wahidin Halim.
Baca Juga: Ini alasan mengapa Bank BJB perlu suntik likuiditas ke Bank Banten
Yang menarik, rencana ini ternyata ada campur tangan dari pemerintah pusat. 23 April 2020, Presiden Joko Widodo memimpin rapat pembahasan penyehatan Bank Banten. Turut hadir Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, dan OJK. Rapat ini kemudian ditindaklanjuti dengan ditekennya letter of ntent (LoI) oleh Gubernur Wahidin dan gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil.
Dalam arahannya, presiden meminta OJK membentuk tim khusus dalam rangka penyelamatan Bank Banten. Sementara Bank BJB diminta presiden untuk membantu sepenuhnya operasional Bank Banten. Adapun Pemprov Banten, dan Jabar diminta paling lama dapat menyelesaikan rencana dalam tiga bulan mendatang.
Direktur Bank Banten Fahmi Bagus Mahesa kepada KONTAN menjelaskan, biarpun pada akhirnya kedua entitas akan melebur, namun belum ada pembicaraan soal mekanismenya. Ini termasuk opsi menggabungkan Bank Banten dengan entitas anak Bank BJB yaitu BJB Syariah.
Sementara di tengah pandemi Covid-19, Fahmi bilang bantuan likuiditas dari Bank BJB kepada Bank Banten akan sangat membantu perseroan.
Baca Juga: Dalam proses merger, Bank Banten tunda rights issue
“Kami membuka diri apabila kemitraan strategis dilakukan melalui mekanisme yang telah disiapkan saat ini yaitu PUT (penawaran umum terbatas) VI. Merger tetap menjadi hal utama, namun mekanismenya bisa beragam bentuk,” ungkapnya, Senin (4/5).
Sejak akhir tahun lalu, perseroan memang sudah berencana melakukan aksi penambahan modal via rights issue secara bertahap untuk menerbitkan 400 miliar saham senilai Rp 8 per lembar. Perseroan menargetkan dapat menghimpun dana hingga Rp 3,2 triliun.
Tahun ini rencananya ada dua rights issue yang digelar. PUT VI pada Juni 2020 untuk menghimpun dana Rp 500 miliar, dan pada PUT VII pada Desember 2020 untuk menghimpun dana Rp 700 miliar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News