Reporter: Astri Kharina Bangun | Editor: Dupla Kartini
JAKARTA. Bank Indonesia (BI) mengingatkan para pengelola Bank Perkreditan Rakyat (BPR) untuk waspada terhadap potensi tindakan pencucian uang dan pendanaan terorisme. Kendati sejauh ini, belum ditemukan BPR yang terindikasi menjadi wadah pencucian uang maupun pendanaan terorisme, namun bukan berarti BPR bebas dari kemungkinan tersebut.
"Yang namanya transaksi money laundring bisa dilaksanakan di lembaga keuangan manapun," kata Direktur Direktorat Kredit, BPR dan UMKM BI Edy Setiadi, usai membuka seminar Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (AP-PPT) BPR se-Jabodetabek, di Jakarta, Senin (5/3).
Menurut Edy, sejatinya, BI sudah menerbitkan PBI yang dapat dijadikan pedoman pencegahan tindak pidana pencucian uang, yaitu PBI mengenai Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles) untuk Bank Umum pada 2001 dan untuk BPR pada 2003.
BI menyadari risiko tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme tidak hanya pada bank umum yang memiliki produk dan layanan yang lebih kompleks, nasabah banyak, dan transaksi bernilai besar. Risiko tersebut juga dapat mengekspos BPR, walaupun produknya lebih sederhana, nilai transaksinya relatif kecil dan layanannya lebih terbatas.
Dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana tersebut, BI juga bekerjasama dengan Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). PPATK mendorong BPR supaya jeli melihat nasabahnya dan segera melaporkan bila mendapati transaksi mencurigakan.
"Sumber daya manusia di BPR belum terlalu well informed. Kami sampaikan tipologi transaksi mencurigakan itu pass by atau rekening tidur," kata Wakil Ketua PPATK Agus Santoso.
Rekening itu biasanya dimiliki nasabah berusia 18-21 tahun. Rekening yang biasanya tidur itu tiba-tiba mendapat transfer dari berbagai tempat. Begitu sampai langsung ditarik, nilainya kecil bisa Rp 100 ribu - Rp 200 ribu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News