kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

BI Heran Pajak Masih Menagih PPN Syariah


Senin, 01 Februari 2010 / 09:42 WIB
BI Heran Pajak Masih Menagih PPN Syariah


Reporter: Ruisa Khoiriyah, Roy Franedya | Editor: Johana K.

Jakarta. Bank-bank yang namanya tercantum dalam daftar 100 penunggak pajak terbesar beramai-ramai menyampaikan bantahan. Mereka menilai, langkah Kantor Direktorat Pajak (Ditjen Pajak) menyebut mereka sebagai penunggak pajak salah alamat.

Direktur Utama BNI Gatot M. Suwondo mengungkapkan, tagihan pajak yang dialamatkan ke banknya merupakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas transaksi murabahah (jual beli) yang dilakukan di Unit Usaha Syariah (UUS) BNI. "Ditjen Pajak memakai aturan lama yang mengenakan pajak ganda untuk transaksi syariah, padahal di aturan pajak yang baru, pasal tersebut sudah dihapus," jelasnya kepada KONTAN, kemarin.

Menurut Ditjen Pajak, tagihan pajak Bank BNI sebesar Rp 128 miliar. Angka tersebut berasal dari transaksi murabahah selama periode 2007 hingga 2009. Ditjen Pajak memasukkan transaksi itu sebagai objek pajak sehingga tercatat berutang pajak.

Merujuk Undang-Undang Nomor 42/2009 mengenai PPN, aturan pajak ganda (double taxation) sudah dihapuskan. Hanya saja, pemberlakuan aturan anyar ini baru efektif pada April 2010 nanti.

Jika aturan tersebut berlaku surut, penghapusan pajak berganda hanya akan dinikmati oleh transaksi yang dilakukan setelah beleid tersebut efektif. Adapun transaksi yang terjadi sebelumnya, masih akan dibebani pajak.

"Jika berlaku surut, semua industri syariah terkena beban pajak dan harus membayar," ujar Gatot. Ia menilai, ini akan sangat memberatkan industri syariah. "Gara-gara pajak begini, bisa-bisa ada bank syariah yang bangkrut nanti," katanya.

Bank BNI mengaku sudah pernah membawa sengketa perpajakan terkait transaksi di bisnis syariah tersebut ke meja hijau. "Tahun 2001 kami pernah klaim ke pengadilan pajak, dan kami menang. Masak setiap kali ada tagihan seperti ini kami harus maju ke pengadilan?" kata Gatot.

BI tak bisa berbuat apa-apa

Supaya tidak terus menjadi momok, dalam waktu dekat Bank BNI akan mengirimkan surat ke Menteri Keuangan, Ditjen Pajak, Bank Indonesia (BI), juga DPR. "Kalau memang pemerintah ingin industri syariah maju, sudah seharusnya aturan pajak tersebut dihapuskan," tegasnya.

Direktur Keuangan Bank Bukopin Tri Joko Prihanto mengatakan, penegasan pembayaran pajak atas transaksi murabahah sejauh ini memang masih menjadi perselisihan dan belum diputuskan oleh pemerintah. "Kami juga belum menerima surat dari Ditjen Pajak yang menyatakan jika Bukopin menunggak pajak," katanya.

Selain Bukopin dan BNI, bank asing asal Jerman, yakni Deutsche Bank juga tercatat sebagai salah satu penunggak pajak. Sayang, Elwin Karyadi, Direktur Domestic Customer Deutsche Bank enggan menanggapi. "Tolong konfirmasi langsung ke perwakilan kami di Singapura," ujarnya.

Deputi Direktur Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia (BI) Mulya E. Siregar mengaku heran dengan langkah Ditjen Pajak yang masih memasukkan transaksi jual beli syariah tersebut sebagai objek pajak. "UU-nya sudah keluar dan dihapuskan. Mestinya tidak berlaku surut, sehingga yang sudah terjadi mengikuti aturan baru dan tidak perlu ditarik pajak lagi," ujarnya.

Toh, selaku otoritas perbankan, bank sentral mengaku tidak bisa berbuat apa-apa jika Ditjen Pajak masih terus menagih pada bank-bank tersebut. "BI sudah advokasi dari dulu sampai UU-nya keluar," kata Mulya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×