Reporter: Dea Chadiza Syafina | Editor: Asnil Amri
JAKARTA. Bank Indonesia (BI) menepis anggapan bahwa pemberlakuan kebijakan kredit kepemilikan rumah (KPR) inden untuk menekan pertumbuhan bisnis properti dan mengerem laju penyaluran kredit.
Hal tersebut disampaikan oleh Asisten Gubernur Bank Indonesia (BI), Mulya Effendi Siregar di Jakarta, kamis (28/11). Mulya bilang, sangat tidak relevan jika kebijakan KPR inden dianggap sebagai upaya BI menekan pemenuhan backlog perumahan atau untuk mengerem pertumbuhan kredit KPR.
Sebab, kebijakan KPR inden masih memberikan kesempatan kepada industri perbankan menyalurkan kredit perumahan. "Kebijakan ini sebenarnya melarang kepemilikan rumah kedua secara inden. Tetapi kalau rumah pertama sudah lunas, kredit rumah kedua boleh dilakukan secara inden," jelas Mulya di Jakarta, Kamis (28/11).
Mulya menegaskan, pada dasarnya kebijakan BI adalah berupa penyempurnaan Loan To Value (LTV)/Financing To Value (FTV) untuk kredit pemilikan properti dan kredit konsumsi beragun properti, berorientasi pada penyediaan rumah untuk kelompok masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah.
Kebijakan KPR ini, menurut Mulya, justru diarahkan untuk memberikan tekanan kepada pengembang perumahan yang hanya mau membangun rumah untuk kelas menengah ke atas atau yang sengaja menyasar konsumen yang akan melakukan kredit rumah kedua.
Bank sentral, lanjut Mulya, menginginkan terjadinya shifting (pergeseran) pembangunan rumah ke kelas menengah dan juga bawah. Dengan demikian, diharapkan lembaga keuangan perbankan bisa shifting penyaluran kredit dari pembiayaan perumahan mewah kepada perumahan menengah dan bawah.
"Ketentuan ini justru mendorong pembangunan menengah kecil, bukan meningkatkan backlog (kekurangan) perumahan. Peluang tumbuhnya KPR masih sangat besar. Kesempatan bangun rumah harusnya banyak ditujukan untuk pembangunan tipe menengah dan kecil," ujar Mulya.
Lebih lanjut Mulya mengatakan, BI sangat berharap developer, terutama developer perumahan menengah ke bawah perkuat permodalan. Sebab, developer tetap perlu memiliki modal kuat untuk dapat memenuhi komitmen dan kewajibannya kepada bank dan juga konsumen
"Developer harus pikirkan bagaimana akumulasi modal untuk dikelola, menggarap segmen bawah yang demand-nya sangat besar. Bermodal kuat, bukan bermodal besar," jelas Mulya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News