Reporter: Anastasia Lilin Y, Umar Idris, Mimi Silvia | Editor: Imanuel Alexander
Jakarta. Demi mengerem defisit transaksi berjalan alias current account di tengah risiko global yang masih tinggi. Demikian alasan paling ringkas dari rentetan panjang penjelasan Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan atau BI rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 7,5%.
Alur skenario BI bermula dari kenaikan suku bunga acuan yang akan diikuti perbankan mengerek bunga kredit. Jika bunga kredit naik, ekspansi usaha bakal mengendur. Perlu diketahui, gerak usaha di tanah air lebih banyak ditopang bahan baku impor. “Pada akhirnya menurunkan impor,” ujar pengamat ekonomi Universitas Atmajaya A. Prasetyantoko.
Namun pada kenyataannya nanti, bukan hanya aktivitas impor yang melibatkan pelaku usaha besar saja yang kemungkinan akan terkena dampak, tapi juga dunia usaha secara keseluruhan. Termasuk para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Di bank, para pelaku UMKM umumnya mengandalkan kredit mikro sebagai sumber pinjaman. Nah, sudah menjadi rahasia umum bahwa rata-rata bunga kredit mikro lebih dibandingkan dengan bunga kredit lain. Beberapa alasan yang dipakai perbankan adalah risiko kredit macet alias non performing loan (NPL) dan biaya dana atau cost of fund yang tinggi.
Menilik data suku bunga dasar kredit (SBDK) BI, untuk kategori kredit usaha ada tiga yakni kredit korporasi, ritel, dan mikro. Per akhir September 2013 lalu, rata-rata bunga kredit korporasi sebesar 10,46% per tahun. Bunga kredit korporasi tertinggi dipatok Bank Yudha Bhakti sebesar 14,89%.
Sementara, rata-rata bunga kredit ritel 11,61%. Bank Mega adalah pemberi kredit ritel tertinggi yakni 18,25%. Bandingkan dengan rata-rata bunga kredit mikro yang 14,01%. Bank Sahabat Purba Danarta ialah pengganjar bunga kredit mikro tertinggi, mencapai 37,37%.
Rentang antara BI rate dengan rata-rata bunga kredit mikro adalah 6,51%. “Normalnya kan 2%–3% di atas BI rate. Zaman bunga bank tinggi ini tidak normal,” ujar Ade Sudrajat, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API).
Susah mengerek harga
Paksi Dewandaru, pemilik usaha penyewaan lapangan futsal bernama Garuda Futsal, salah satu contoh pelaku UMKM yang harus rela membayar ungakredit tinggi, yakni 1,69% per bulan atau 20,28% per tahun. Kredit ini diloloskan Bank Danamon seminggu lalu. Dalam rupiah, per bulan dia mesti menyetor cicilan Rp 8,01 juta untuk melunasi utangnya Rp 80 juta selama satu tahun.
Selain bunga tinggi, yang membedakan kredit mikro dengan kredit korporasi adalah, dari fl eksibilitas perjanjian kerjasama. Diah Pangesti, pemilik agensi iklan bernama Kubus ID di Pekalongan, Jawa Tengah, bertutur, ketika mengajukan pinjaman ke bank, dia langsung disodori selebaran “paket” pinjaman oleh petugas. “Enggak ada negosiasi bunga seperti yang bisa dilakukan oleh pengusaha besar,” ujar Diah.
Lantaran butuh dana modal demi melebarkan sayap ke bisnis kuliner, Diah dan rekannya mengambil kredit Rp 50 juta dua bulan lalu di Bank Mandiri. Besar bunganya 1,23% sebulan atau 14,76% per tahun. Untuk tenor pelunasan tiga tahun, per bulan dia mencicil Rp 2 juta.
Husain, penjual tekstil dengan bendera usaha Alvian Collection di Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, menuturkan, dia bisa mengantongi kucuran kredit hingga Rp 25 juta, setelah sebelumnya meminjam dengan jumlah yang lebih kecil dan lancar pembayaran cicilannya hingga lunas. “Saya bertahap, dari ambil yang lebih kecil, baru bisa ambil yang Rp 25 juta ini,” ujar pria yang menjalankan usaha sejak 2005 ini.
Menanggapi bunga kredit mikro yang tinggi, Direktur Keuangan BRI Ahmad Baiquni menuturkan, bunga kredit yang diberikan BRI di kredit mikro bersifat tetap alias fi xed rate. Karena menggunakan skema bunga ini, maka ketika BI rate ada di tren naik seperti sekarang, bank pelat merah itu tak berniat menaikkan bunga.
Pilihan mempertahankan besar bunga kredit mikro ketimbang menyesuaikan dengan tren BI rate tersebut, menurut Baiquni, merupakan bagian dari BRI memberikan kelonggaran kepada para debitur mikro. “Ini termasuk bagian dari fasilitas kami,” imbuh Baiquni.
Lana Soelistianingsih, ekonom Universitas Indonesia, berpendapat, bunga tinggi bisa tak menjadi masalah bagi pelaku UMKM. Dengan catatan, daya beli konsumen tetap tinggi. Masalahnya, “Kalau perusahaan besar bisa dengan mudah melakukan mitigasi risiko suku bunga ke harga jual, maka tidak bisa demikian dengan pelaku UMKM,” beber Lana.
Muhammad Furqon Pidada, pemilik CV Haganyku, produsen kerajinan tangan dan batik, mengaku, mulai tahun ini terasa sekali penjualannya menurun. Selain persaingan yang makin ketat, daya beli konsumen juga melorot. Lantaran pasar lesu, belum terbetik niatan dia untuk menaikkan harga jual. Sebab, jika salah strategi bisa justru produk makin tak laku.
Senada, Husain juga raguragu untuk menaikkan harga produknya. Prinsip dia, selama konsumen masih banyak, maka dirinya tak akan mengerek harga. “Saya lihat saja nanti konsumen bagaimana,” ujar dia. Duh, terjepit sana-sini!
***Sumber : KONTAN MINGGUAN 9 - XVIII, 2013 Laporan Utama
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News