Reporter: Tim KONTAN | Editor: Ridwal Prima Gozal
KONTAN.CO.ID - Para pendiri Negara ini mendirikan dasar negara dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang menerapkan sistem desentralisasi. Filosofi desentralisasi, termasuk desentralisasi perpajakan, sesuai dengan Pasal 18 UUD 1945 yang berbunyi: “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas wilayah-wilayah provinsi, dan wilayah provinsi itu dibagi atas kabupaten-kabupaten dan kota-kota, yang berhak mengatur sendiri dan mengurus urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tanggung jawab.
Kebijakan desentralisasi ini ditegaskan dalam Pasal 18A ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi: “Hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota, atau antar provinsi dan kabupaten dan kota, sebagaimana diatur dengan undang-undang, dengan memperhatikan kekhasan dan keberagaman daerah." Ayat 2 kemudian berbunyi: “Hubungan perekonomian, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya antara negara dan pemerintah daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan serasi, berdasarkan undang-undang.”
Luky Alfirman, Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan, menjelaskan otonomi daerah dan desentralisasi perpajakan merupakan sarana untuk mencapai tujuan negara, yakni pemerataan kekayaan di seluruh pelosok NKRI.
Guna mencapai pemerataan kesejahteraan di seluruh pelosok Indonesia, pemerintah menerapkan kebijakan Transfer ke Daerah (TKD) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Merupakan kesatuan keuangan yang dipisahkan dari penerimaan negara yang bertujuan untuk mengurangi selisih keuangan negara dan daerah serta selisih pajak dan administrasi publik antar daerah.
Alokasi TKD dalam APBN terus bertambah dan bertambah selama satu dekade terakhir. Pada tahun 2014, jumlah TKD sebesar Rp 573,7 triliun. Pada tahun 2015 tumbuh menjadi Rp 623,1 triliun. Tahun 2016 sebesar Rp 710,3 triliun. Tahun 2017 sebesar Rp 742 triliun. Pada tahun 2018 meningkat menjadi Rp 757,8 triliun. Pada tahun 2019 meningkat sebesar Rp 813 triliun. Tahun 2020 senilai Rp 762,5 triliun. Tahun 2021 menjadi Rp 785,7 triliun. Tahun 2022 menjadi Rp 816,2 triliun. Tahun 2023 sebesar Rp 814,7 triliun dan APBN 2024 sebesar Rp 857,6 triliun.
Kebijakan TKD tahun 2024 antara lain meningkatkan sinergi kebijakan pusat dan daerah serta harmonisasi belanja pusat dan daerah; lalu ada peningkatan kualitas pengelolaan TKD. Selain itu ada kebijakan memperkuat penggunaan alokasi TKD pada bidang prioritas dan meningkatkan efisiensi serta mengoptimalkan penggunaan TKD untuk mendukung pencapaian program nasional. Yang terakhir, pemerintah juga menerbitkan petunjuk/petunjuk teknis dan peraturan yang sederhana, terpadu dan sinkron sebelum awal tahun anggaran serta meningkatkan keberpihakan politik dan alokasi TKD untuk mengatasi stunting, kemiskinan, inflasi dan investasi; dan juga mendorong pemerintah daerah untuk menggunakan TKD untuk kegiatan produksi dengan multiplier tinggi.
Selain itu, kenaikan TKD pada tahun anggaran 2024 juga akan digunakan terutama untuk koreksi kebijakan prioritas antara lain dukungan gaji Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) dan kenaikan gaji pokok Aparatur Sipil Negara (ASN) Daerah. Meningkatkan pelayanan publik di daerah serta dukungan operasional sekolah, seperti PAUD dan pendidikan kesetaraan, juga dukungan penanganan kemiskinan ekstrem dan stunting di daerah.
“Pengentasan kemiskinan ekstrem tidak akan berhasil jika hanya mengandalkan program pemerintah. Dukungan terhadap program tersebut diperlukan dari pihak terkecil yaitu aparat pemerintah desa. Oleh karena itu harmonisasi kebijakan pusat dan daerah sangat penting.” kata Luky Alfirman.
Dalam UU APBN (2024) bagian TKD sebesar Rp 857,6 triliun dibagi sebesar Rp 143,1 triliun, Angka tersebut meningkat dari tahun 2023 menjadi Rp 136,3 triliun. Lalu ada, Dana Alokasi Umum sebesar Rp 427,7 triliun, naik dari tahun lalu Rp396 triliun. Selanjutnya, Alokasi khusus Rp188,1 triliun (terdiri dari DAK fisik Rp53,8 triliun, DAK nonfisik Rp133,8 triliun, dan subsidi ke daerah Rp0,5 triliun), meningkat dari tahun lalu Rp185,8 triliun. Dana Otonomi Khusus (Otsus) sebesar Rp18,3 triliun, naik dari tahun lalu Rp17,2 triliun. Besaran Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta sebesar Rp 1,4 triliun, sama dengan tahun 2023. Besaran dana desa sebesar Rp 71 triliun, naik dibandingkan tahun lalu sebesar Rp 70 triliun. yang terakhir, besaran insentif pajak sebesar Rp 8 triliun, sama dengan tahun lalu.
Menurut Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan, tujuan tambahan alokasi dana bagi hasil adalah untuk mengurangi ketimpangan vertikal dengan memberikan DBH kepada daerah produksi, pengolah, daerah perbatasan langsung lainnya, dan daerah dalam satu provinsi. Sementara itu, dana alokasi umum bertujuan untuk meningkatkan pemerataan dan kapasitas keuangan pelayanan publik antar daerah. Di antaranya kebijakan kenaikan biaya gaji dan tunjangan ASN daerah sebesar 8% serta dukungan penggajian PPPK yang diberlakukan pemerintah daerah.
Tujuan dana alokasi khusus adalah untuk meningkatkan pelayanan primer baik fisik maupun non fisik, termasuk infrastruktur dan operasional layanan publik di daerah. Sementara itu, penambahan DAK Non Fisik disebabkan adanya perubahan alokasi tunjangan profesi guru daerah (TPG) dan tunjangan guru khusus (TKG) kepada ASN dengan memperhitungkan kenaikan gaji.
Luky Alfirman melanjutkan, negara juga telah menyiapkan mekanisme reward bagi pemerintah daerah dalam bentuk insentif fiskal untuk menjamin terselenggaranya program pembangunan yang berkeadilan. “Dengan mekanisme reward ini, pemerintah daerah didorong untuk meningkatkan kualitas belanja daerah, bukan hanya melalui belanja pegawai, tetapi juga melalui pembuatan program kerja yang hasilnya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat daerah,” tutupnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News