Reporter: Hasbi Maulana | Editor: Edy Can
NEW YORK. Defisit neraca berjalan yang terjadi selama beberapa bulan terakhir belum mengancam keberlanjutan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang terbilang pesat saat ini. Gubernur Bank Indonesia (BI) Darmin Nasution menegaskan hal itu ketika menyampaikan pidato di hadapan para calon investor di Indonesia Invesment Day yang berlangsung di New York, Amerika Serikat, Senin (24/9), waktu setempat.
Darmin juga menepis anggapan bahwa defisit neraca berjalan merupakan pertanda ekonomi yang terlalu panas (over heating). Sebab, kuncinya terletak pada penyebabnya. Memang, belakangan ini terjadi penurunan harga komoditi yang memukul ekspor. Padahal, pada saat yang sama, angka impor justru meningkat. "Apakah peningkatan impor ini pertanda overheating? Kita harus melihat komposisinya," ujar Darmin.
Nah, kita ketahui bersama, peningkatan impor ini terjadi seiring dengan peningkatan impor barang modal. Sampai semester satu lalu, impor barang modal terhadap GDP sudah mencapai 32'34%. Sekadar pembanding, pada 2006 lalu rasio ini baru mencapai 25%.
Di lain pihak, fakta ini juga selaras dengan pertumbuhan rasio investasi terhadap GDP yang kini mencapai 25,34%, meningkat dari 23,23% pada 2010. "Dengan kata lain, sejauh ini, peningkatan impor yang terjadi masih bersifat produktif dan masih bisa menjaga ekonom, " tambah Darmin. Apalagi, beberapa rasio yang lain masih baik, seperti penurunan rasio utang dari 150% GDP pada 2001 menjadi hanya 27% pada 2008.
Meski begitu, Darmin tidak bermaksud menggampangkan persoalan defisit ini. Pemerintah harus menjaga agar defisit tidak membesar, syukur-syukur bisa meningkat. Kalau pun tidak bisa dilakukan, ya, harus segera dicarikan solusi. "Salah satu caranya mengundang Investasi asing langsung," kata dia. Kalau masih menunggu setahun dua tahun lagi, terlalu terlambat.
Ada ruang lega di perbankan
Pertumbuhan ekonomi juga dimungkinkan oleh pembiayaan dari sektor keuangan yang kuat. BI melihat, ekspansi kredit perbankan saat ini tersalur untuk sektor-sektor yang produktif, berupa kredit investasi (29%) dan kredit modal kerja (28%). Ini membuat bank sentral tetap nyaman dengan proyeksi pertumbuhan total kredit sebesar 26%.
Meski begitu, imbuh Darmin, BI tetap fokus memastikan agar kredit yang bersifat konsumtif bisa dikelola degan hati-hati. Salah satunya dengan menerapkan LTV rasio untuk kredit pemilikan rumah, uang muka kredit pembeian kendraan, dan beberapa pembatasan kartu kredit.
BI juga melihat adanya peluang perekonomian Indonesia untuk terus tumbuh lewat perbankan. Peluang itu tampak dari kemungkinan efisiensi perbankan. Perbankan yang efisien, menurut Darmin, akan membuka kesempatan yang lebih luas bagi khalayak untuk mengakses perbankan. Sekadar catatan, saat ini rasio kredit di Indonesia dengan GDP relatif rendah, hanya 31%. Bandingkan dengan Malaysia yang mencapai 115%.
Apakah ini sindiran agar para bankir yang ikut menghadiri acara ini agar mau menurunkan bunga kredit lebih rendah?
"Saya justru bilang bahwa Indonesia masih punya ruang kebijakan yang tidak dipunyai negara lain. Sayang kalau tidak digunakan untuk semakin menunjang pertumbuhan. Kalau cuma menyindir, saya tak akan jauh-jauh ke New York," ucapnya sembari terkekeh, seusai pidato.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News