Reporter: Adrianus Octaviano | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Berbagai upaya dilakukan oleh Bank Indonesia (BI) untuk menggenjot pertumbuhan kredit. Maklum, pertumbuhan kredit perbankan konsisten melambat, setidaknya per April 2025 yang hanya sekitar 8,88% secara tahunan (YoY).
Adapun salah satu insentif terbaru adalah penurunan rasio Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) dari 5% menjadi 4% untuk bank konvensional, sementara untuk bank syariah dari 3,5% menjadi 2,5%. Dalam hal ini, bank diberi ruang untuk mengurangi kepemilikan surat berharganya, termasuk Surat Berharga Negara (SBN).
Berdasarkan data Kementerian Keuangan per 15 Mei 2025, kepemilikan SBN di perbankan senilai Rp 1.088 triliun. Nilai tersebut setara dengan porsi kepemilikan yang mencapai 17,26% dari total SBN.
Jika dibandingkan dengan posisi akhir 2024, memang ada peningkatan secara nilai dari yang sebelumnya sebesar Rp 1.051 triliun. Hanya saja, jika secara porsi, ada sedikit penurunan karena di periode akhir tahun mencapai 17,41%.
Baca Juga: Bank-Bank Ini Mencatatkan Tingkat Kredit Macet yang Tinggi pada Kuartal I-2025
Solikin M. Juhro, Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial (DKMP) BI mengungkapkan bahwa saat ini memang ada beberapa bank yang kepemilikan surat berharganya sudah mencapai 5%. Artinya, tidak ada ruang untuk mengurangi kepemilikan tersebut yang sebenarnya bisa membantu likuiditas.
“Memang kebetulan secara industri, sekitar 20% dari alat likuid. Tapi, secara individual, ada bank-bank yang sudah pas. Nah, kan, dia gak punya ruang lagi,” ujar Solikin, Senin (26/5).
Lebih lanjut, ia pun memperkirakan, dengan adanya penurunan rasio tersebut, akan membantu likuiditas bank yang saat ini sedang ketat. Untuk hitung-hitungannya, ia menyebut bisa ada tambahan likuiditas hingga Rp 78,45 triliun.
Tak hanya itu, Solikin juga bilang penurunan rasio ini memiliki efek domino untuk bisnis perbankan. Mulai dari penurunan cost of fund hingga penurunan bunga kredit yang diharapkan menjadi stimulus untuk pertumbuhan kredit.
“Nah setelah isu pendanaan ini, ya kami harapkan bank pada akhirnya untuk menyalurkan kredit ke sektor-sektor yang memang perlu didukung tapi sesuai dengan appetite bank,” ujarnya.
Corporate Secretary Bank Mandiri M Ashidiq Iswara mengungkapkan saat ini penempatan likuiditas pada instrumen SBN dan surat berharga lainnya sebagai salah satu alternatif instrumen aset produktif.
Baca Juga: Pertumbuhan Kredit UMKM Seret, Kredit Mikro Justru Tertekan
Ia bilang penempatan pada SBN dan surat berharga lainnya merupakan bagian dari strategi manajemen likuiditas dan optimalisasi asset liability management bank dengan menyesuaikan tren serta kondisi perekonomian.
Adapun realisasi penempatan dana Bank Mandiri secara konsolidasi pada SBN dan surat berharga lainnya tumbuh 1,76% YoY menjadi Rp 403,67 triliun di kuartal I-2025. Pada posisi yang sama, Bank Mandiri secara konsolidasi menyalurkan pertumbuhan kredit 16,5% yoy menjadi Rp 1.672,42 triliun.
“Porsi penempatan dana pada surat berharga dapat terus berubah menyesuaikan dengan perubahan tren yang terjadi,” ujarnya.
EVP Corporate and Social Responsibility BCA Hera F Haryn bilang penempatan dana pada instrumen surat berharga merupakan bagian dari strategi pengelolaan likuiditas perusahaan. Tak hanya itu, Hera bilang bahwa ini juga dilakukan untuk mendukung perekonomian nasional.
Secara konsolidasi, total dana yang ditempatkan BCA pada instrumen surat berharga mencapai Rp 362 triliun per April 2025. Komposisi terbesar adalah penempatan dana pada obligasi pemerintah.
“Strategi penempatan dana di surat berharga dilakukan untuk menjaga keseimbangan antara kecukupan likuiditas dengan ekspansi kredit yang sehat,” ujar Hera.
Selanjutnya: Dimsum dan Kangaroo Bond Jadi Strategi Stabilkan Keuangan, Ekonom Ingatkan Hal Ini!
Menarik Dibaca: Dividen Indocement (INTP) Rp 259 per saham, Potensi Yield 4,5%
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News