Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Jumlah nasabah bank yang terganggu pandemi virus corona (Covid-19) cukup besar. Kementerian keuangan mencatat, restrukturisasi kredit di segmen Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) sudah mencapai Rp 75,05 triliun.
Empat bank pelat merah menurut catatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah melakukan restrukturisasi sebesar Rp 28,7 triliun hingga akhir Maret 2020 dari 168.479 debitur. Jumlah tersebut masih berpotensi naik mengingat pandemi ini belum kelihatan kapan akan berujung.
Baca Juga: Bisnis cash management BNI dan BRI tumbuh di tengah pandemi corona
OJK telah melonggarkan aturan restrukturisasi untuk kredit maksimal Rp 10 miliar yang terdampak Covid-19. Dengan relaksasi itu, kualitas aset perbankan akan terjaga karena kredit yang direstrukturisasi akan otomatis masuk kategori lancar.
Cara restrukturisasi bisa dilakukan melalui penurunan suku bunga, perpanjangan jangka waktu, pengurangan tunggakan pokok, pengurangan tunggakan bunga, penambahan fasilitas kredit dan konversi kredit menjadi penyertaan modal sementara. Biaya restrukturisasi itu akan menambah beban bank dan bisa mengganggu likuiditas.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah menilai kondisi perbankan Indonesia saat ini masih cukup kuat. Kondisi Indonesia saat ini belum mengalami krisis dan likuiditas bank masih cukup sehat.
Kondisi ekonomi saat ini belum mengalami krisis. Oleh karena itu, ia menekankan tidak bisa menyamakan stimulus pandemi Covid-19 yang dilakukan pemerintah dengan program penyehatan perbankan pada saat krisis moneter tahun 1998, apalagi membandingkannya dengan BLBI. "Saat ini kita belum krisis. Sedangkan tahun 1998, perbankan sudah ambruk dan BLBI merupakan talangan atas rush ke sektor perbankan itu," jelas Piter pada Kontan.co.id, Rabu (8/4).
Baca Juga: Operasional BCA dan CIMB Niaga di Jakarta tetap normal saat PSBB diberlakukan
Menurutnya, langkah yang diambil pemerintah dengan mengeluarkan stimulus sebesar Rp 405 triliun untuk mitigasi dampak Covid-19 sudah sangat benar agar kondisi ekonomi tidak kian memburuk. Pelonggaran aturan restrukturisasi kredit yang dilakukan juga bukan karena perbankan mengalami krisis tetapi untuk mencegah kredit bermasalah yang bisa menimbulkan beban yang besar ke depan.
Bank BRI memperkirakan potensi restrukturisasi kredit yang akan dilakukan bank ini ke depan masih cukup besar jika melihat kondisi yang terjadi saat ini. Langkah restrukturisasi itu harus dilakukan untuk membantu usaha nasabah yang pada akhirnya akan membantu kinerja perseroan secara keseluruhan.
Haru Koesmahargyo, Direktur Keuangan BRI menyebut kondisi likuiditas Indonesia terutama BRI masih sangat kuat dalam menghadapi potensi restrukturisasi kredit. Itu tercermin dari LDR bank pelat merah ini per Februari tercatat 89,5%. "Kebutuhan likuiditas BRI masih sangat mencukupi. Rasio LCR maupun NSFR pun tetap terjaga di atas minimum yang dipersyaratkan sebesar 100%," Urainya.
Baca Juga: Pegadaian, PNM hingga Bahana Artha Ventura juga siapkan relaksasi pembiayaan UMi
Pelonggaran giro wajib minimum (GWM) yang dilakukan BI juga dinilai akan sangat membantu mengantisipasi kebutuhan likuiditaa yang diperlukan BRI. Per Maret, Bank BRI telah melakukan restrukturisasi kredit terdampak Covid-19 Rp 14,9 triliun dari 134.258 debitur.
Sementara untuk tetap bisa tumbuh di tengah lesunya permintaan kredit dan meningkatnya pemburukan aset, Haru bilang, BRI akan fokus menjaga pertumbuhan di segmen UMKM terutama mikro dengan tetap selektif dan menerapkan prinsip kehati-hatian.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News