kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45906,29   2,96   0.33%
  • EMAS1.310.000 -0,23%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ekonom UGM: BI harus mengembalikan trek perbankan


Kamis, 22 Agustus 2013 / 11:50 WIB
Ekonom UGM: BI harus mengembalikan trek perbankan
ILUSTRASI. Lisa Blackpink masuk dalam jajaran idol KPOP wanita yang memiliki aura tomboy fearless dan juga terkesan "mahal".


Reporter: Anna Suci Perwitasari |

JAKARTA. Kepala Pusat Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada A. Tony Prasetiantono melihat, industri perbankan sudah tak terlalu bergantung kebijakan pada Bank Indonesia (BI). Khususnya pada kebijakan suku bunga acuan atawa BI Rate.

"BI Rate saat ini tidak realistis dengan inflasi," ujar Tony dalam seminar Investment Prospect Into 2014 di Jakarta, Kamis (22/8).

Menurutnya, posisi suku bunga acuan 6,5% tidak normal karena di bawah Indeks Harga Konsumen (IHK/inflasi) yang sebesar 8,61%.  Padahal, di tengah likuiditas yang makin kering, bank harus memberikan premium rate kepada nasabah berkantong tebal agar mau menaruh dananya. Dengan kata lain, nasabah tak mau keuntungan investasinya tergerus inflasi.

Walhasil, bank banyak yang melenceng dan mengambil kebijakan internal. Perlu diketahui, rata-rata premium rate perbankan saat ini sudah di kisaran 8%-8,5%.

Untuk mengembalikan keputusan internal perbankan ke jalur sebenarnya, Tony menyarankan agar bank sentral kembali menaikkan BI rate, setidaknya hingga 50 basis poin (bps) ke 7%.

Bisa menolong rupiah

Selain mengembalikan kodrat bank yang patuh pada kebijakan bank sentral, alasan lain untuk menaikkan BI Rate adalah stabilisasi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Ini instrumen lainnya seperti FasBI Rate dan lelang forex Swap tidak sekuat BI Rate untuk menghentikan pelemahan rupiah.

Kenaikan BI Rate pun dapat menjaga instrumen lainnya, yaitu cadangan devisa. Dengan menaikkan BI Rate, Tony yakin posisi cadangan devisa yang per Juli lalu tinggal US$ 92,7 miliar tak semakin tergerus.

Nilai cadangan devisa yang menciut sangat tidak sehat bagi moneter Indonesia dan bisa menyebabkan kepanikan di pasar. “Investor bisa jadi makin memburu dollar dan meninggalkan rupiah,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×