Reporter: Andri Indradie | Editor: Test Test
JAKARTA. Niat Bank Indonesia (BI) menerbitkan aturan baru tentang Giro Wajib Minimum (GWM) yang dikaitkan dengan Loan to Deposit Ratio (LDR) menuai pelbagai reaksi. Kini, para bankir mewaspadai kenaikan biaya dana yang bisa muncul akibat penerapan aturan tersebut.
Menurut Direktur PT Bank Mandiri Tbk Thomas Arifin, pemberlakuan disinsentif (penalti) peraturan GWM-LDR bisa menaikkan biaya dana perbankan. "Tambahan GWM yang konon dalam bentuk cash akan membuat bank menempatkan dana sebesar GWM-LDR di BI tanpa bunga. Sementara, dana untuk tambahan GWM tersebut berasal dari dana pihak ketiga (DPK) yang berbunga," tutur Thomas. Jadi, ada selisih dana yang harus ditutup oleh bank.
J.B. Kendarto, Direktur Utama PT Bank Mega Tbk, berpendapat, penambahan GWM memang bakal menambah biaya dana yang nantinya bisa ditransfer ke harga kredit yang lebih tinggi. Alhasil, hal ini justru kontraproduktif dengan tujuan penurunan bunga kredit.
Oleh karena itu, Kendarto mendukung rencana BI yang bakal memberikan insentif untuk perhitungan GWM jika rasio permodalan (CAR) bank mencapai level tertentu. "Akan tetapi, terlalu dini dan sulit melihat atau menghitung dampaknya saat ini jika Peraturan BI tentang GWM-LDR belum keluar," tegasnya kepada KONTAN, Senin (2/8).
Sekadar mengingatkan, tujuan utama dari aturan GWM-LDR adalah mendorong perbankan lebih aktif mengucurkan kredit. BI menetapkan koridor LDR 75% - 95% sebagai kisaran ideal. Bank yang memiliki LDR di bawah atau melebihi koridor tersebut bisa dikenai penalti berupa tambahan GWM sebesar 0,5% - 1%.
Persentase kredit
Salah satu bank yang memiliki LDR di bawah koridor yang ditetapkan BI adalah PT Bank Central Asia Tbk (BCA). Per 30 Juni lalu, LDR BCA tercatat sebesar 51,4%. Meski siap membayar penalti, Wakil Direktur Utama BCA Jahja Setiaatmadja meminta BI memperhitungkan kenaikan dalam persentase kredit.
Pasalnya, bagi bank sekelas BCA yang memiliki DPK sebesar Rp 255,03 triliun, penyaluran kredit sulit mengejar kenaikan DPK. "Kalau kenaikan kredit sudah besar, sangat berbahaya kalau dipaksakan meningkat lebih besar lagi," jelasnya melalui pesan singkat kepada KONTAN. Ia mencontohkan, krisis subprime mortgage di Amerika Serikat (AS) terjadi karena bank kurang berhati-hati menyalurkan kredit.
Senada, Direktur PT Bank Hana Edy Kuntardjo bilang, kebijakan BI yang mengaitkan GWM dengan upaya mendorong ekspansi kredit kurang relevan. Pasalnya, permintaan kredit sangat tergantung kepada pertumbuhan ekonomi makro yang stabil, yang dapat mendorong sektor riil. Padahal, perbankan dihadapkan pada permasalahan risiko.
"Tingkat suku bunga kredit akan terbentuk melalui mekanisme pasar sehingga bank yang paling efisien akan mampu bersaing," katanya. Namun, ia tetap meminta perbankan mendukung kebijakan tersebut. Sebaliknya, BI juga perlu terbuka menerima masukan jika bank merasa dirugikan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News