Reporter: Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk mempertahankan suku bunga kebijakan (BI 7-day reserve repo rate/7DRRR) di level 4% pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulan September 2020. Salah satu pertimbangan utama dalam mempertahankan suku bunga adalah dalam rangka menjaga stabilitas rupiah di tengah ketidakpastian pasar keuangan global.
Dengan terciptanya stabilitas nilai tukar maka diharapkan bisa mendorong terjaganya ekspektasi pelaku ekonomi baik konsumen dan pelaku usaha sehingga akan turut mendorong pemulihan ekonomi.
Tetapi, menurut Ekonom PT Bank Permata Tbk Josua Pardede penurunan suku bunga acuan BI memang wajar untuk dipertahankan.
Sebab, tentu penurunan bunga acuan BI belum akan efektif apabila tidak diikuti oleh produktivitas stimulus fiskal, dalam hal ini penyerapan anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) serta penyerapan belanja pemerintah dan daerah yang akan menggerakkan aktivitas perekonomian.
Dengan begitu, tentunya diharap bila ekonomi pulih, maka akan mendorong permintaan kredit perbankan dan transmisi penurunan suku bunga BI pun akan semakin cepat mendukung pemulihan ekonomi.
Baca Juga: Ada pinjaman modal bisa tanpa agunan dari BNI, ini syarat dan bunga KUR mikro BNI
Tetapi kendati tak menurunkan bunga, sejatinya BI sudah melakukan segala upaya untuk mendukung pemulihan perekonomian Tanah Air. Salah satunya melalui kebijakan Quantitative Easing (QE) di sektor perbankan yang hingga saat ini sudah disuntikkan likuiditas sebesar Rp 662 triliun.
"Tidak hanya dari kebijakan QE, BI juga mendukung pemulihan ekonomi Indonesia melalui bauran kebijakan lain, seperti dukungan kepada UMKM melalui perpanjangan periode pelonggaran GWM rupiah kepada bank yang menyalurkan kredit kepada UMKM dan sektor prioritas," kata Josua kepada Kontan.co.id, Jumat (18/9).
Dalam pengumumannya, BI memang sudah menyatakan bahwa bank sentral sudah melakukan intervensi di pasar primer sebesar Rp 48,03 triliun dan skema burden sharing sebesar total Rp 143,46 triliun.
Di tahun depan BI menyatakan pihaknya akan tetap melanjutkan koordinasi dengan pemerintah untuk pemulihan perekonomian, dengan melanjutkan kebijakan intervensi di pasar primer.
Sementara untuk skema burden sharing, BI menyatakan bahwa hal tersebut hanya khusus dilakukan di tahun 2020 saja.
Kendati sudah mengeluarkan sederet kebijakan stimulus, penyaluran kredit perbankan sejatinya tak berkutik. Pertumbuhan kredit perbankan per bulan Agustus 2020 tercatat hanya naik 1,04% secara year on year (yoy) atau -1,69% secara year to date (ytd).
Dari sisi perbankan sendiri dengan peningkatan pertumbuhan DPK hingga sebesar 11,64% yoy atau 8,16% ytd mengindikasikan bahwa likuiditas di perbankan sangat tinggi di tengah kondisi pandemi ini.
Menurut Josua, adanya perlambatan kredit tidak lepas dari aktivitas perekonomian yang cenderung masih terbatas di masa pandemi ini meskipun beberapa indikator sudah mencatatkan pemulihan, seperti penjualan ritel dan juga penjualan mobil, yang secara perlahan mengalami peningkatan sejak bulan Juni.
Hal ini kemudian diperparah oleh masih tingginya kasus Covid-19 di kota-kota besar sehingga aktivitas ekonomi belum dapat kembali seperti semula. Dengan aktivitas perekonomian yang masih terbatas, penurunan suku bunga tentunya tidak memberikan dampak yang signifikan, karena para pelaku bisnis tentunya tidak akan mengajukan kredit apabila pendapatanynya juga masih terbatas.
"Sektor perbankan sendiri akan mencari cara agar dana dari DPK dapat tersalurkan untuk mencegah penurunan NIM perbankan dikarenakan beban bunga dari simpanan nasabah. Di tengah lemahnya permintaan kredit dimana pertumbuhan kredit yang justru turun Rp 95,2 triliun (ytd)," paparnya.
Baca Juga: Ini beberapa jurus BI untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi
Perbankan saat ini menurut Josua, sedang aktif mengoptimalkan penempatan dananya di Surat Berharga Negara (SBN). Kepemilikan perbankan terhadap SBN per Agustus tercatat Rp 1.197 triliun atau meningkat sekitar Rp 616 triliun (ytd).
Diharapkan dengan adanya penyaluran dana dari perbankan ke instrument SBN, tidak terjadi hambatan dari masalah pendanaan dalam memberikan stimulasi untuk menjaga daya beli masyarakat dan mendukung keberlangsungan usaha baik UMKM dan korporasi, yang kemudian akan mampu mendorong kembalinya aktivitas ekonomi.
Hal ini dapat terjadi dengan asumsi bahwa realisasi dapat cepat terserap ke masyarakat. Dengan terbatasnya aktivitas ekonomi, transmisi kebijakan moneter suku bunga cenderung terbatas karena kebijakan ini ditansmisikan melalui pemberian kredit.
Apabila permintaan kredit di dunia usaha masih sangat terbatas, maka penurunan suku bungapun cenderung memberikan dampak yang tidak signifikan pada penambahan permintaan kredit.
Oleh karena itu, dibutuhkan dorongan yang lebih maksimal lagi dari sisi fiskal juga untuk menstimulasi dunia usaha agar mampu menggerakan kembali perekonomian.
Selanjutnya: Transaksi Pasar Uang Antar Bank Sepi Kala Pandemi Covid-19
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News