Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kolaborasi antara perbankan dengan fintech perlu dipercepat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi digital. Keduanya sama-sama memiliki kekuatan dan kelemahan masing-masing sehingga kolaborasi diperlukan untuk menutupi kekurangan diantara kedua belah pihak.
Deputi Direktur Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Ricky Satria mengatakan, perbankan memiliki tantangan dalam memenuhi perkembangan behavior dari millenial karena faktor budaya lama dalam perbankan itu sendiri. Sementara produk dan layanan fintech berkembang sesuai dengan kebutuhan nasabah.
"Kolaborasi ini sangat penting karena bagi bank ini soal reputasi untuk bisa melayani kebutuhan nasabah buka lagi kompetis. Dengan kolaborasi maka capital expenditure dan biaya proses bisnis akan lebih rendah, serta meningkatkan akses terhadap nasabah di pasar yang baru," kea Ricky dalam webinar, Kamis (10/6).
Ricky menambahkan, ada empat model kolaborasi yang bisa dilakukan bank dan fintech. Pertama, model channeling atau kanal. Ini merupakan model yang paling umum dilakukan saat ini dimana bank menyalurkan kredit lewat fintech. Contohnya adalah kolaborasi antara BNI dengan Grab dan Gojek.
Baca Juga: Kolaborasi dompet digital dengan perusahaan asuransi makin semarak
Kedua, model supplier dimana bank melakukan investasi mengembangkan layanan mirip fintech seperti yang dilakukan BRI dalam pengembangan aplikasi Ceria. Ketiga, model satelit dimana bank membentuk perusahaan modal ventura yang bisa leluasa berinvestasi di perusahaan fintech.
Keempat adalah model merger atau akuisisi seperti yang dilakukan Akulaku yang mengakuisisi saham Bank Neo Commerce dan Kredivo akuisisi saham Bank Bisnis Indonesia. "Secara terori model akuisisi ini gampang tetapi prakteknya sulit karena banyak hal baru yang harus disesuaikan. Masing-masing pihak harus bisa menahan ego karena memiliki budaya yang berbeda," jelas Ricky.
Adapun kekuatan yang dimiliki bank diantaranya memiliki basis pelanggan yang luas, memiliki reputasi terhadap kepercayaan dan stabilitas, sudah berpengalaman berkomunikasi dengan regulator, punya produk dan layanan yang komplit, serta memiliki efektivitas managemen resiko.
Sedangkan kelemahannya fintech diantaranya masih harus membangun ekosistem nasabah, kurangnya kepercayaan dari masyarakat, kurang berpengalaman dengan regulator, produknya terbatas dan kemampuan managemen resikonya masih rendah.
Kelebihan fintech diantaranya tidak perlu legacy sistem sehingga lebih cepat dalam berinovasi menciptakan produk, lincah dan mampu menyesuaikan diri dengan tren, memiliki keahlian teknologi dan dengan cepat merilis produk baru. Kelebihan ini sekaligus merupakan kelemahan dari perbankan.
Ricky menambahkan, BI terus berupaya agar kolaborasi fintech dan bank bisa dipercepat. Itu sudah tertuang dalam inisiatif blue print sistem pembayaran yang diterbitkan BI. Salahnya cara mempercepat adalah dengan pengembangan open banking lewat API, pengembangan QRIS, serta pengembangan sandbox 2.0.
Dengan langkah-langkah itu, digital ekonomi inklusi bisa mencapai Rp 1.736 triliun pada 2025 seperti yang diprediksi dalam Google, Temasek dan Bain&Company tahun 2020. Angka itu meningkat dari Rp 616 triliun pada tahun 2020.
Selanjutnya: Ini 7 bank yang sedang proses menuju bank digital di Indonesia
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News