Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Dina Hutauruk
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Standard Chartered Group terus melakukan inisiatif baru untuk mencapai target net zero emission atau karbon nol bersih secara global yang sudah diumumkan perusahaan pada tahun 2021. Institusi keuangan global ini menargetkan karbon nol bersih dari sisi operasional tercapai pada tahun 2025 dan dari sisi pembiayaan pada tahun 2050.
Meskipun target net zero emission dari sisi pembiayaan masih lama, namun Standard Chartered sudah mulai menjalankan sejumlah langkah untuk mencapai target tersebut secara bertahap. Perusahaan ini sudah telah menetapkan metodologi untuk mencapai target tersebut.
Vice Chairman, ASEAN & President Commissioner, Indonesia Standard Chartered Bank, Rino Donosepoetro mengatakan, sudah beberapa strategi yang disiapkan untuk mencapai target itu secara bertahap. Pertama, bergabung dalam inisiatif Just Energy Transition Partnership (JETP).
Kedua, Standard Chartered memobilisasi pendanaan sebesar US$ 300 miliar secara global untuk pembiayaan hijau dan transisi energi mulai tahun 2021 hingga 2030. Ketiga, khusus untuk Asean, perusahaan membantu klien untuk melakukan transisi ke energi hijau. Keempat, fokus melakukan pembiayaan ke sektor transisi dan mempensiunkan dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara. Kelima, mendukung carbon trading, cabon credit dan lain-lain.
"Kami sudah memulai (menjalankan) strategi meski targetnya pada tahun 2050. Dalam konteks carbon strategi, itu sebenarnya sangat shortime, sehingga harus dimulai dari sekarang. Kami sudah membuat progres yang bagus untuk mengejar target itu," kata Rino dalam panel diskusi bertajuk Overview of opportunities, challenges and progress in accelerating ASEAN’s Just Transition, Rabu (6/9).
Baca Juga: Utak-Atik Penyaluran Kredit ke PLTU Batubara Menjadi Kredit Hijau
Rino mengatakan, untuk tahap awal, Standard Chartered akan fokus mengurangi eksposur pembiayaan ke sektor yang paling intensif karbon hingga tahun 2030, seperti energi, minyak dan gas, serta yang lainnya.
Standard Chartered melihat tantangan transisi energi di masing-masing negara di dunia berbeda. Ada negara yang memiliki PLTU rata-rata sudah tua sehingga lebih mudah untuk pensiun dini. Sementara di Indonesia memiliki rata-rata usia PLTU masih muda sehingga tantangan untuk melakukan transisi lebih berat.
Rino bilang, kondisi itulah yang mendorong Standard Chartered terlibat dalam inisiatif JETP untuk membantu negara berkembang beralih dari pembangkit listrik berbahan bakar batubara dan pada saat yang bersamaan melakukan upaya pengembangan energi terbarukan dalam untuk memenuhi kebutuhan listrik.
Pada Konferensi Tingkat Tinggi G20 pada November 2022, negara-negara yang tergabung dalam International Partners Group (IPG) sepakat memobilisasi pendanaan JETP senilai US$ 20 miliar guna membantu Indonesia menerapkan upaya-upaya dekarbonisasinya. Sebesar US$ 10 miliat berasal dari negara G7 dan US$ 10 miliar akan dimobilisasi melalui pendanaan swasta oleh Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ).
"Standard Chartered merupakan anggota GFANZ. Ada 7 bank yang terlibat di dalamnya. Indonesia menjadi negara dengan komitmen pendanana JETP terbesar diantara negara-negara lain," kata Rino.
Rino mengatakan, menarik modal yang diperlukan dari negara maju untuk membantu transisi yang dilakukan negara berkembang akan menjadi sebuah tantangan. Oleh karena itu, doperlukan kolaborasi yang seimbang antara sektor publik dan swasta.
Sambut Revisi Taksonomi Hijau Indonesia
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) saat ini sedang membahas revisi taksonomi hijau Indonesia (THI). Langkah ini akan diharapkana akan semakin memacu perbankan melakukan pembiayaan ke sektor hijau atau pembiayaan ramah lingkungan ke depan.
Revisi tersebut juga menyesuaikan terhadap ASEAN Taxonomy for Sustainable Finance versi kedua yang diluncurkan ASEAN Taxonomy Board (ATB) pada Maret 2023. Taksonomi ini menjadi panduan dalam mengklasifikasi kegiatan ekonomi, khususnya yang berkaitan dengan pembiayaan hijau.
Rino menyambut baik langkah OJK yang akan merevisi taksonomi hijau tersebut. " ASEAN Taxonomy for Sustainable Finance versi kedua sudah lebih advance dimana salah satunya mengatur kegiatan pensiun dini PLTU. Jadi saya menyambut langkah OJK merevisi taksonomi hijau dan diharapkan itu selaras dengan Indonesia sebagai chair Asean," ujarnya.
Ia berharap revisi tersebut membuat taksonomi hijau Indonesia menjadi lebih interoperable. Menurutnya, taksonomi hijau yang ada saat ini di dunia belum sepenuhnya memiliki interoperabilitas, karena berbeda antara satu negara dengan negara lain. Sehingga menjadi masalah besar dalam menyalurkan pembiayaan dari negara maju ke negara berkembang.
"Institusi financial punya regulator masing-masing, ada yang do eropa, ada yang inggris. Kalau taksonominya beda-beda, tidak mungkin institusi finansial global mengadopsi taksonomi satu negara saja. Oleh karena itu, taksonomi itu harus dibikin menjadi offerable" kata dia.
Salah satu poin yang akan direvisi OJK adalah pembiayaan PLTU batubara untuk tujuan hilirisasi industri seperti pembangunan pabrik baterai kendaraan listrik dikaji akan dimasukkan menjadi kategori hijau.
Menanggapi itu, Rino menyebutkan bahwa Standard Chartered Indonesia sudah memiliki standar baku secara global dalam melakukan pembiayaan. Oleh karena itu, strategi pembiayaan mereka di Indonesia akan berpatokan pada standard yang ditetapkan oleh kantor pusatnya. "Buat kami, posisi yang tepat adalah mengikuti posisi global kami. Taksonomi berbeda-beda tiap negara. Standard Chartered ada di 60 negara, tidak mungkin kami hanya mengadopsi taksonomi satu negara saja," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News