Reporter: Ferry Saputra | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) akan menyidangkan kasus dugaan pelanggaran kartel bunga pinjaman online (Pinjol) atau fintech peer to peer (P2P) lending dalam waktu dekat.
Mengenai hal itu, Pengamat sekaligus Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda berpendapat adanya kasus yang tengah bergulir itu akan berpengaruh terhadap nama dan sentimen borrower maupun lender terhadap industri fintech lending. Sebab, bisnis digital tersebut, termasuk bisnis kepercayaan.
Nailul berpendapat sebelum bunga turun saat ini, borrower akan beranggapan bahwa mereka telah dikenakan bunga yang begitu tinggi sebelumnya.
"Artinya, borrower akan berpikir bahwa seharusnya mereka bisa mendapatkan bunga yang lebih rendah sebelumnya," katanya kepada Kontan, Jumat (2/5).
Baca Juga: 97 Pinjol Resmi OJK Per Mei 2025, Ini Daftar Lengkapnya
Di sisi lain, Nailul beranggapan kasus itu juga bisa berdampak kepada pihak lender. Dia bilang adanya penyesuaian bunga yang akhirnya menurun saat ini, menjadikan keuntungan yang didapat lender menjadi berkurang.
"Dengan muncul persepsi bahwa borrower seharusnya dapat bunga yang lebih rendah, maka lender akan dapat keuntungan yang makin kecil, tentu mereka akan berpikir ulang mendanai ketika bunga investasi tidak kompetitif," kata Nailul.
Terkait perkembangan kasus dugaan kartel bunga pinjol, Ketua KPPU Fanshurullah Asa mengatakan tahap persidangan yang akan dilakukan nanti menandai eskalasi serius atas temuan indikasi pengaturan bunga secara kolektif di kalangan pelaku usaha fintech lending.
Fanshurullah menerangkan penyelidikan KPPU mengungkap adanya dugaan pelanggaran Pasal 5 Undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Dia menyampaikan sebanyak 97 penyelenggara layanan pinjaman online atau fintech lending yang ditetapkan sebagai Terlapor diduga menetapkan plafon bunga harian yang tinggi secara bersama-sama melalui kesepakatan internal (eksklusif) yang dibuat asosiasi industri, Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI).
Baca Juga: 1.123 Pinjol Ilegal Diblokir TW 1 2025, Simak Daftar Pindar Legal Terdaftar OJK April
Fanshurullah mengatakan pihaknya menemukan bahwa mereka menetapkan tingkat bunga pinjaman (yang meliputi biaya pinjaman dan biaya-biaya lainnya) yang tidak boleh melebihi suku bunga flat 0,8% per hari, dihitung dari jumlah aktual pinjaman yang diterima oleh penerima pinjaman yang kemudian besaran tersebut diubah menjadi 0,4% per hari pada 2021.
“Kami menemukan adanya pengaturan bersama mengenai tingkat bunga di kalangan pelaku usaha yang tergabung dalam asosiasi selama 2020 hingga 2023. Hal itu dapat membatasi ruang kompetisi dan merugikan konsumen," ungkap Fanshurullah dalam keterangan resmi, Selasa (29/4).
Dalam melakukan penyelidikan, Fanshurullah menyampaikan KPPU telah mendalami model bisnis, struktur pasar, hingga pola keterkaitan antar pelaku di industri pinjol. Dia bilang model bisnis pinjaman online di Indonesia mayoritas menggunakan pola peer to peer (P2P) lending, yang mana menghubungkan pemberi dan penerima pinjaman melalui platform digital.
Berdasarkan hasil penyelidikan dan pemberkasan, Fanshurullah menyebut KPPU melalui Rapat Komisi pada 25 April 2025 memutuskan untuk menaikkan kasus tersebut ke tahap Sidang Majelis Pemeriksaan Pendahuluan. Dia bilang agenda sidang itu bertujuan menyampaikan dan menguji validitas temuan, serta membuka ruang pembuktian lebih lanjut.
"Jika terbukti melanggar, para pelaku usaha dapat dikenakan sanksi administratif berupa denda hingga 50% dari keuntungan berdasarkan pelanggaran atau hingga 10% dari penjualan di pasar bersangkutan dan selama periode pelanggaran," ujarnya.
Baca Juga: KPPU akan Gelar Sidang Kasus Dugaan Kartel Bunga Pinjol
Fanshurullah menyampaikan bahwa KPPU menekankan penanganan kasus kartel bunga pinjol merupakan bagian dari upaya menjaga ekosistem persaingan usaha yang sehat di sektor keuangan digital.
Dia beranggapan industri fintech dinilai memiliki peran strategis dalam mendorong inklusi keuangan, sehingga praktik-praktik anti persaingan harus dihentikan dan dicegah sejak dini karena berdampak luar biasa bagi masyarakat khususnya bagi masyarakat kecil dan menengah.
Dari sisi konsumen, Fanshurullah menilai penegakan hukum terkait kasus tersebut menjadi sinyal positif terhadap perlindungan hak peminjam dan efisiensi biaya layanan keuangan digital. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News