Reporter: Nina Dwiantika | Editor: Asnil Amri
JAKARTA. Revisi Undang Undang Perbankan membawa angin segar bagi industri bank perkreditan rakyat (BPR). Draf RUU inisiatif DPR RI itu membuka peluang bagi BPR menambah produk dan layanan baru.
Penambahan kewenangan baru itu diharapkan meningkatkan daya saing BPR dalam menghadapi ketatnya persaingan industri perbankan. Tapi, sisi buruknya, aktivitas anyar itu bisa menjauhkan BPR dari cita-citanya sebagai bank komunitas.
Penambahan kegiatan usaha BPR di antaranya, penempatan dana di BPR lain, baik berbentuk deposito maupun tabungan. Pada UU perbankan lama, BPR hanya boleh menempatkan dana di bank umum. Ketentuan baru ini bisa dibilang akan memudahkan penyediaan likuiditas antara sesama BPR.
BPR juga diperbolehkan melayani penukaran mata uang asing (valas). Namun, untuk kegiatan usaha dalam valas, seperti kredit valas dan sejenisnya, tetap tidak diperbolehkan. Hal menonjol lain adalah keikutsertaan BPR dalam sistem kliring nasional, meski melalui bank pembangunan daerah (BPD). Ini sebuah lompatan besar yang bisa menaikkan image BPR di mata para nasabah.
Layanan yang sedang diujicobakan (pilot project) di Jawa Timur itu diharapkan memudahkan nasabah BPR bertransaksi. RUU perbankan ini juga menegaskan aturan main tentang fungsi bank pengayom atau apex bank bagi BPR.
Direktur Kredit, BPR dan UMKM BPR Bank Indonesia (BI) Zainal Abidin, mengatakan DPR sudah melibatkan BI dalam membahas penambahan dan larangan usaha bagi BPR. "BI menilai, BPR perlu memiliki penambahan usaha agar jangan sampai nasabah mereka lari ke bank umum lain," kata Zainal, Minggu (22/7).
Penambahan kewenangan yang bakal berdampak signifikan bagi BPR, salah satunya layanan transaksi dan pembayaran. Maklum, selama ini nasabah BPR tidak dapat melakukan transaksi kepada nasabah bank umum, karena kondisi likuiditas mereka. "Namun, perlu persyaratan dan izin khusus bagi BPR yang ingin menambah kegiatan usahanya," tambah Zainal.
Syaratnya antara lain kesiapan infrastruktur, tingkat kesehatan bank, kondisi non-performing loan (NPL), kecukupan likuiditas dan kompetensi direksi.
Satriyo Yudiarto, Komisaris Utama BPR Surya Yudha Rejasa, mengatakan penambahan produk bagi BPR akan meningkatkan sumber dana pihak ketiga (DPK) dan aset BPR. "BPR memang memerlukan usaha penukaran uang asing," katanya.
Ia mencontohkan pengalaman BPR Surya Yudha di Banjarnegara. Seringkali wisatawan asing yang berwisata ke Dieng, Banjarnegara, kesulitan menukarkan dollar AS ke rupiah. Maklum, tidak banyak bank umum beroperasi di sana. "Ini ada potensi perolehan komisi atau fee untuk BPR," tambahnya.
Informasi saja, hingga Mei 2012 BPR mengumpulkan DPK senilai Rp 27,5 triliun atau tumbuh 17% ketimbang periode yang sama tahun sebelumnya. Sedangkan aset BPR meningkat 18% menjadi Rp 58,9 triliun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News