kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45923,79   -11,72   -1.25%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kendala transisi pengawasan perbankan ke OJK


Rabu, 02 Oktober 2013 / 15:49 WIB
Kendala transisi pengawasan perbankan ke OJK
ILUSTRASI. Pembayaran Dividen ANTM 2022 Naik 2x Dari Tahun 2021, Cek Harga Sahamnya


Reporter: Umar Idris, Edy Can, Roy Franedya | Editor: Imanuel Alexander

Jakarta. Fungsi pengawasan terhadap industri perbankan tak lama lagi akan pindah sepenuhnya dari Bank Indonesia (BI) kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Di pengujung masa transisi yang tersisa tiga bulan lagi, proses peralihan kewenangan tersebut ternyata masih terganjal oleh dua masalah yang berpangkal kepada soal duit. Yaitu, anggaran dan iuran lembaga keuangan.

Salah menangani masalah anggaran, bisa-bisa pengawasan perbankan di OJK tidak akan berjalan. Para pengawas di BI bisa saja tidak mau pindah ataupun dipinjamkan ke OJK. Jumlah pengawas bank yang akan dipinjamkan sementara ke OJK sekitar 1.300 orang.

Pangkal masalahnya adalah anggaran gaji dan fasilitas untuk para pengawas yang belum dianggarkan oleh OJK maupun BI. Anggaran OJK tahun depan yang telah disepakati oleh Komisi Keuangan (XI) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebesar Rp 2,4 triliun, ternyata belum mencakup gaji dan fasilitas para pengawas bank. OJK beralasan, anggaran tersebut belum dimasukkan karena para pengawas bank masih berstatus sebagai pegawai BI.

Sementara BI tidak mau memasukkan anggaran gaji dan fasilitas para pengawas bank karena mereka bekerja melakukan pengawasan untuk OJK, bukan untuk BI. Maklum, fungsi pengawasan bank mulai awal tahun depan sudah pindah ke OJK. “Nilai anggaran gaji dan fasilitas pengawas bank yang menjadi masalah Rp 1 triliun,” kata Harry Azhar Azis, Wakil Ketua Komisi XI DPR.

Masalah anggaran ini dibenarkan oleh Muliaman Hadad, Ketua Dewan Komisioner OJK. Namun, menurut dia, nilai anggaran untuk para pengawas bank tidak sampai Rp 1 triliun. “Jumlahnya Rp 810 miliar,” katanya, saat ditemui usai rapat dengan DPR, Kamis (26/9) lalu.

Mengapa OJK tak menganggarkan gaji untuk pemeriksanya? Muliaman berpegang pada Pasal 64 UU OJK. Pasal itu menyatakan, para pengawas bank itu masih berstatus pegawai BI yang diperbantukan kepada OJK. Para pengawas bank itu masih akan berstatus pegawai BI yang ditugaskan di OJK hingga akhir 2015. Saat itulah mereka harus memilih menjadi pegawai OJK atau kembali ke BI.

Bagi OJK, selama masih berstatus pegawai BI, gaji mereka akan disediakan oleh BI. Cara seperti ini juga mengacu kepada praktik yang terjadi selama ini di BI. “Seperti orang Bank Indonesia yang ditugaskan di lembaga lain, misalnya PPATK,” tukas Muliaman.

Pejabat Bank Indonesia enggan memberi penjelasan tentang tarik-ulur seputar anggaran para pengawas bank ini. “Kami belum bisa bicara jika soal anggaran pengawas,” kata Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Difi A. Johansyah.

Pendapat Komisi XI DPR tampaknya segendang sepenarian dengan OJK. Menurut Harry Azhar, anggaran gaji dan fasilitas para pengawas bank harus disediakan oleh BI karena mereka masih berstatus sebagai pegawai BI yang dipinjamkan ke OJK. “Kecuali misalnya anggaran bonus atas prestasi mereka, itu dari OJK,” imbuhnya.

Pada Rabu (26/9) lalu, Komisi XI DPR telah bertemu di dalam forum tertutup dengan OJK untuk membahas masalah ini. Sayangnya, belum ada keputusan yang jelas karena hanya mendengarkan penjelasan Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D. Hadad. “Penyelesaian masalah anggaran ini akan diselesaikan lewat anggaran BI tahun 2014 yang akan dibahas akhir tahun ini,” ujar Harry.

Yang jelas, jika alpa menangani masalah ini, ribuan para pengawas BI tentu ogah pindah ke OJK karena tidak menerima gaji. Dampaknya pun akan sangat besar bagi industri perbankan nasional di tahun depan. Bagi nasabah, keamanan dana mereka akan menjadi taruhan jika tidak ada penyelesaian masalah tersebut.

Pungutan OJK ditolak

Hambatan lain pada masa transisi ini adalah pungutan atau fee dari industri keuangan kepada OJK. Iuran ini telah termaktub di dalam Pasal 34 ayat 2 UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK. Pasal itu lengkapnya berbunyi: Anggaran OJK bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Besaran anggaran OJK maupun pungutan ditetapkan setelah disetujui DPR.

Sampai pekan lalu, pemerintah telah menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang mengatur tentang pungutan ini. Seorang pejabat di Kementerian Keuangan mengatakan RPP tersebut segera dikirim ke Istana Negara untuk diteken Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. “Saya dengar menunggu legalisasi dari Kementerian Hukum dan HAM,” kata Harry.

Dia menjelaskan, besaranpungutan yang telah disepakati oleh pemerintah adalah 0,030% hingga 0,045% dari nilai aset. Kesepakatan ini lebih rendah dari usul OJK yang meminta batas atas pungutan 0,06%.

Muliaman Hadad membenarkan informasi itu. “Memang ada perubahan sedikit. Tetapi batas bawahnya tidak berubah,” katanya. Namun, Muliaman tidak memperjelas batas atas yang telah disepakati tersebut.

Menurut Muliaman, iuran untuk industri keuangan ini akan berlaku mulai 2014. Besaran tarif pungutan yang akan diterapkan kepada masing-masing bank diserahkan kepada OJK. Yang pasti, kisaran pungutannya adalah 0,030% hingga 0,045% dari nilai aset suatu bank.

Jika skenario tersebut berjalan mulus maka tahun depan OJK akan menerima dana dari anggaran negara sebesar Rp 2,4 triliun plus pungutan dari industri keuangan. Nilai pungutan yang bakal terkumpul itu masih belum dapat diperkirakan. “Yang pernah disampaikan, jika pungutannya 0,045%, maka Bank Mandiri bisa membayar Rp 100 miliar per tahun ke OJK,” kata Harry.

Muliaman mengklaim telah berbicara dengan para pelaku industri keuangan mengenai iuran tersebut. Ia pun tampak yakin bisa menarik pungutan ini. Sikap optimistis juga dilontarkan oleh Nelson Tampubolon, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK. “Berbagai masukan yang diterima oleh OJK dari industri keuangan telah dipertimbangkan dalam pembahasan RPP terkait dengan pungutan tersebut,” katanya dalam surat elektronik (e-mail) kepada KONTAN, pekan lalu.

Kini, lanjut Nelson, RPP tersebut akan ditandatangani oleh Presiden dalam waktu dekat. Namun, berdasarkan penelusuran KONTAN, sampai saat ini masih ada keberatan dari industri keuangan terhadap pungutan itu. Salah satunya dari bank-bank milik negara yang tergabung dalam Perhimpunan Bank milik Negara (Himbara). Himbara menolak pungutan meskipun nilainya telah diturunkan. “Kami sudah sampaikan keberatan kami beberapa waktu lalu, sampai sekarang kami menolak karena tidak sesuai dengan good corporate governance,” tutur Ketua Umum Himbara yang juga Direktur Utama Bank Negara Indonesia (BNI) Gatot Mudiantoro Suwondo.

Himbara menilai iuran tersebut tidak pantas dipungut oleh OJK karena otoritas itu menjadi pengawas dan auditor lembaga keuangan yang diawasi. “Masak lembaga yang diaudit atau diperiksa membayar kepada pemeriksanya,” tukas Gatot.

Bagi Himbara, penarikan iuran oleh OJK berbeda dengan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). LPS menjamin atau mengasuransikan simpanan dana nasabah di bank.

Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) juga keberatan dengan iuran ini. AAJI telah lama mengirimkan keberatan soal besaran pungutan (fee) yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan. Salah satu poin keberatan mereka adalah pungutan tersebut akan memberatkan nasabah. Karena itu, AAJI meminta OJK mengkaji kembali soal pungutan tersebut.

Kalau pun harus membayar iuran, AAJI keberatan dengan nilai besarannya. Sikap tersebut sudah mereka sampaikan kepada OJK.

Ekonom Danareksa Research Institute Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan pungutan tersebut masih dapat ditarik dari industri keuangan dengan syarat pungutan itu bukan untuk mencari keuntungan. “Penarikan pungutan itu hanya untuk menanggung biaya operasional saja, dengan catatan biaya operasionalnya tidak digelembungkan,” tandasnya.

Yang jelas, pembayaran pungutan ini bersifat wajib dan memiliki konsekuensi hukum jika ada pelaku industri keuangan yang tak menaatinya. Ketentuan pidana di dalam UU OJK menyatakan, seorang yang menghambat pelaksanaan wewenang OJK dipenjara dan denda, minimal 2 tahun dan Rp 5 miliar, maksimal 6 tahun dan Rp 15 miliar. Sedangkan bagi perusahaan, hanya denda minimal Rp 15 miliar dan maksimal Rp 45 miliar.

Denda ini memang dapat diperdebatkan di depan hukum. Harry menyarankan jika industri keuangan masih juga keberatan, “Silakan saja gugat pasal pungutan ini ke Mahkamah Konstitusi agar tidak dianggap melanggar UU,” katanya.

Mari kita tunggu saja, apakah keberatan para industri keuangan akan bermuara ke meja hijau?


***Sumber : KONTAN MINGGUAN 1 - XVIII, 2013 Laporan Utama

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Berita Terkait



TERBARU

[X]
×