Reporter: Ferry Saputra | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) membantah adanya dugaan kartel bunga pinjaman online (pinjol), seperti yang dituduhkan pihak Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Sebab, AFPI menilai justru penyesuaian bunga bisa merugikan karena membatasi ruang gerak fintech lending dalam menyalurkan pembiayaan.
Sekretaris Jenderal AFPI Ronald Andi Kasim membeberkan bahkan tak ada penyelenggara fintech peer to peer (P2P) lending yang ingin diatur bunganya sejak berdiri 2017 sampai sekarang. Sebab, dinilai hal itu juga akan membuat peminjam berkurang apabila ada batasan terkait bunga.
"Jadi, kalau ditanya kepada masing-masing platform, pasti tidak ada satupun yang ingin diatur (bunga), dari sejak kami berdiri 2017 sampai sekarang," katanya saat konferensi pers di kawasan Jakarta Selatan, Kamis (14/5).
Baca Juga: Ini Respons AFPI Soal Dugaan Kartel Bunga Pinjol
Ronald menerangkan pada akhirnya fintech lending memahami alasan bunga itu harus diatur. Sebab, sejak saat itu, ada ribuan pinjaman online (pinjol) ilegal bermunculan dan tentunya mesti dibedakan antara yang legal dengan yang ilegal.
"Kalau tidak ada pengaturannya, termasuk pembatasan maksimum suku bunga, tentu tak ada bedanya kami (fintech lending) dengan yang ilegal," tuturnya.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal AFPI periode 2018-2023 Sunu Widyatmoko juga membantah tuduhan adanya persengkongkolan untuk menyesuaikan bunga dari para penyelenggara fintech lending yang tergabung dalam asosiasi selama periode 2020 hingga 2023. Adapun poin tersebut menjadi salah satu yang disoroti oleh KPPU.
Jika ditelisik secara rinci, AFPI menurunkan bunga menjadi 0,4% pada 2021, dari 0,8% (disesuaikan pada 2018). Sunu bilang saat itu penurunan bunga 0,4% merupakan arahan dari regulator dan tidak ada penyelenggara yang senang.
"Buat kami (fintech lending), makin bunga diturunkan itu artinya adalah pinjaman yang bisa diberikan akan berkurang. Kenapa? Sebab, artinya konsep risk and return, kami hanya bisa memberikan kepada orang dengan profil risiko yang rendah. Profil risiko tinggi menjadi tidak bisa diberikan kami," katanya.
Baca Juga: Kasus Dugaan Kartel Bunga Pinjol Masuk Tahap Persidangan, Ini Respon AFPI
Hal itu berbanding terbalik dari konsep inovasi fintech lending yang mana perlu adanya kesempatan pemberian pembiayaan kepada orang atau borrower yang risikonya dianggap tinggi. Sunu menyebut konsep itu menjadi tidak jalan dengan adanya batasan bunga.
"Kalau profil risiko 0,8% sama 0,4% itu pasti berbeda. Artinya, orang yang dipilih oleh platform adalah orang yang secara risiko kecil. Misalnya, pegawai tetap atau orang yang sudah punya catatan di Fintech Data Centre (FDC) dengan risiko yang lebih baik. Dengan demikian, konsep inovasi tidak jalan," ungkapnya.
Dengan demikian, Sunu menegaskan apabila penyesuaian bunga yang dilakukan itu merupakan kesepakatan bersama antarpenyelenggara seperti yang dituduhkan, dinilainya tak masuk akal. Sebab, penyelenggara tak mungkin melakukan hal tersebut yang mana bertentangan dengan apa yang diinginkan para penyelenggara dalam hal melakukan inklusi keuangan.
"Kedua hal itu menjawab argumen KPPU yang menyatakan bahwa penyesuaian bunga merupakan kesepakatan para penyelenggara menjadi tidak berlaku. Jadi, bukan 5-6 orang berkumpul untuk memutuskan, itu tidak. Jadi, benar-benar organisasi menjalankan dan dalam tanda kutip diminta oleh OJK supaya bisa memerangi pinjol ilegal secara efektif," ujarnya.
Baca Juga: KPPU akan Gelar Sidang Kasus Dugaan Kartel Bunga Pinjol
AFPI juga menegaskan bahwa adanya penyesuaian bunga 0,8% pada 2018 dan 0,4% pada 2021 merupakan arahan dari OJK. Arahan tersebut diambil lantaran belum adanya dasar hukum yang kuat untuk mengatur hal tersebut.
Setelah Undang-undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) disahkan dan OJK menerbitkan Surat Edaran OJK (SEOJK) Nomor 19 Tahun 2023 yang secara rinci mengatur bunga pinjaman fintech lending sebesar 0,3%. AFPI kemudian segera mencabut batas bunga maksimum 0,4% tersebut dan menyelaraskan sepenuhnya dengan ketentuan regulator.
Sebagai informasi, KPPU akan menyidangkan dugaan pelanggaran kartel suku bunga di industri pinjol dalam Sidang Majelis Pemeriksaan Pendahuluan yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat.
"Langkah itu menandai eskalasi serius atas temuan indikasi pengaturan bunga secara kolektif di kalangan pelaku usaha pinjaman berbasis teknologi," kata Ketua KPPU Fanshurullah Asa dalam keterangan tertulis, Selasa (29/4).
Baca Juga: KPPU: Kasus Dugaan Kartel Bunga Pinjol Naik dari Penyelidikan ke Pemberkasan
Penyelidikan KPPU mengungkap adanya dugaan pelanggaran Pasal 5 Undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Sebanyak 97 penyelenggara layanan pinjaman online atau fintech lending yang ditetapkan sebagai Terlapor diduga menetapkan plafon bunga harian yang tinggi secara bersama-sama melalui kesepakatan internal (eksklusif) yang dibuat asosiasi industri, AFPI. Adapun KPPU menyoroti peristiwa tersebut terjadi selama periode 2020 hingga 2023.
Selanjutnya: PT HLI Green Power Bisa Produksi 120.000 Sel Baterai per Hari untuk Mobil EV
Menarik Dibaca: Airbnb Perkenalkan Fitur Baru, Pengguna Bisa Pilih Berbagai Layanan dan Pengalaman
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News