Reporter: Selvi Mayasari | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Fasilitas kredit kepada nasabah yang belum ditarik atau yang disebut dengan kredit menganggur (Undisbursed Loan) tercatat terus meningkat.
Hal ini menandakan para pengusaha menahan untuk menarik fasilitas kreditnya yang telah disetujui oleh pihak perbankan.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan, pada periode Juli 2024 Undisbursed Loan untuk Bank Umum naik 6,89% menjadi Rp 2.158,25 triliun secara tahunan (yoy), dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp 2.019,16 triliun.
Dan meningkat secara bulanan (mtm) sebesar 0,28% dari periode Juni 2024 sebesar Rp2.152,19 triliun.
Baca Juga: Mencermati Pemicu Kredit Menganggur Perbankan Terus Menumpuk
Meningkatnya Undisbursed Loan Bank Umum berasal dari kenaikan Undisbursed Loan Bank Umum KBMI 1,3 dan 4.
Berbeda dengan Bank KBMI 1,3 dan 4, Undisbursed Loan Bank Umum KBMI 2 justru turun 0,20% menjadi Rp 381,88 triliun secara tahunan (yoy) dari Juli 2023 mencapai Rp 382,63 triliun, walaupun tercatat naik secara bulanan 0,78% dari periode Juni 2024 sebesar Rp 384,90 triliun.
Sementara itu, Undisbursed Loan Bank Persero atau milik BUMN tercatat turun pada periode Juli 2024 sebesar 1,47% menjadi Rp 408,14 triliun yoy, dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp 414,24 triliun. Namun angka tersebut naik secara bulanan 1,63% dari periode Juni 2024 sebesar Rp 401,58 triliun.
Adapun, Undisbursed Loan Bank Pembangunan Daerah (BPD) yang justru mencatat naik pada periode Juli 2024 sebesar 15,92% menjadi Rp31,39 triliun secara tahunan (yoy), dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp27,08 triliun. Akan tetapi, angka tersebut turun secara bulanan sebesar 0,41% dari periode Juni 2024 sebesar Rp31,52 triliun.
Selanjutnya, Undisbursed Loan Bank Swasta Nasional juga tercatat naik secara tahunan (yoy) pada periode Juli 2024 sebesar 13,97% menjadi Rp 1.442,36 triliun, dari periode yang sama tahun sebelumnya Rp 1.265,55 triliun. Angka tersebut juga naik secara bulanan sebesar 0,02% dari periode Juni 2024 sebesar Rp 1.442,05 triliun.
Pengamat perbankan & praktisi sistem pembayaran Arianto Muditomo menilai, pertumbuhan kredit menganggur kemungkinan berkaitan dengan pelemahan daya beli dan tren deflasi yang terjadi secara beruntun.
Baca Juga: Kredit Menganggur Perbankan Menumpuk, Ini Pemicunya
Indonesia memang mencatat deflasi lima bulan berturut-turut sejak Mei 2024. Deflasi beruntun tersebut merupakan pertama kali terjadi sejak 1999 atau 25 tahun terakhir.
Menurutnya, saat daya beli masyarakat melemah, permintaan kredit untuk investasi dan konsumsi cenderung berkurang, sehingga kredit yang telah disetujui oleh bank tidak langsung disalurkan (undisbursed).
"Tren deflasi juga bisa mencerminkan penurunan aktivitas ekonomi, yang membuat perusahaan lebih berhati-hati dalam menggunakan fasilitas kredit untuk ekspansi atau operasional," kata Pria yang akrab disapa Didiet ini kepada Kontan.co.id, Kamis (3/10).
Di sisi lain, OJK juga mencatat pertumbuhan kredit perbankan mencapai 11,4% secara tahunan (yoy) atau Rp 7.508 triliun per Agustus 2024.
Didiet juga mengatakan, pertumbuhan dua digit baik dalam penyaluran kredit maupun undisbursed loan menunjukkan adanya keinginan dari pelaku usaha untuk mendapatkan akses pembiayaan, namun ada penundaan dalam realisasi penggunaan kredit tersebut.
"Ini bisa berarti bahwa meskipun ada pertumbuhan kredit yang baik, banyak nasabah yang belum menggunakan dana pinjaman mereka secara maksimal, mungkin karena ketidakpastian ekonomi atau masih lemahnya permintaan di pasar," ujar Didiet.
Hal ini disebut Didiet, secara umum, mengindikasikan adanya kepercayaan dalam mendapatkan kredit, tetapi ketidakpastian atau hambatan dalam pengambilan keputusan ekonomi yang menyebabkan tertahannya realisasi kredit.
Adapun, kredit menganggur kemungkinan besar berasal dari sektor-sektor yang terkait dengan investasi dan proyek infrastruktur, seperti konstruksi, manufaktur, dan properti.
"Sektor ini biasanya mengajukan kredit dalam jumlah besar, namun realisasi penggunaan dana bisa tertunda karena berbagai faktor, seperti perizinan yang tertunda, hambatan proyek, atau penundaan ekspansi," ucapnya.
Selain itu, sektor usaha yang terkait dengan komoditas atau perdagangan juga bisa mengalami keterlambatan dalam menggunakan kredit, tergantung kondisi pasar.
Hingga akhir 2024, tren undisbursed loan pun diproyeksikan akan tetap tinggi jika ketidakpastian ekonomi, baik global maupun domestik, masih berlangsung. Namun, kata Didiet jika ada perbaikan dalam daya beli, stabilisasi inflasi, dan kepercayaan pasar meningkat, maka sebagian kredit yang menganggur dapat terealisasi, terutama dari sektor-sektor yang menunggu sinyal pemulihan ekonomi.
"Namun demikian, jika kondisi ekonomi belum stabil, undisbursed loan bisa terus tumbuh seiring dengan penyaluran kredit yang juga meningkat," tandasnya.
Kredit menganggur atau undibursed loan di sejumlah bank juga terlihat masih menumpuk, meskipun rata-rata pertumbuhan kredit mereka meningkat dua digit.
Ambil contoh PT Bank Mandiri Tbk yang mencatatkan pertumbuhan kredit sebesr 23% hingga Agustus 2024, mencapai Rp 1.222,13 triliun. Namun kredit menganggur Bank Mandiri masih cukup besar, bahkan naik secara tahunan seiring dengan kredit yang bertumbuh.
Bank Mandiri mencatat total kredit menganggur mencapai Rp 236,28 triliun pada Agustus 2024, naik 15,04% yoy dari periode yang sama tahun lalu sebesar Rp205,39 triliun.
Tidak hanya Bank Mandiri, PT Bank Central Asia Tbk (BCA) juga mencatatkan total kredit menganggur yang lebih besar, yakni Rp 405,04 triliun pada Agustus 2024, naik 11,19% yoy dari periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 364,27 triliun.
Kenaikan kredit menganggur tersebut seiring dengan pertumbuhan kredit BCA yang sebesar 16% yoy pada Agustus 2024 mencapai Rp 842,71 triliun.
EVP Corporate and Social Responsibility BCA, Hera F Haryn mengatakan, kenaikan undisbursed loan perseroan dikarenakan meningkatnya pembiayaan di semua segmen, seperti UKM, Korporasi, hingga kredit konsumer.
"Pada prinsipnya, BCA berkomitmen menyalurkan kredit ke berbagai sektor untuk menunjang program hilirisasi yang dicanangkan pemerintah," kata Hera.
Di sisi lain, bank di jajaran KBMI 3 juga mencatatkan kredit menganggur yang masih menggunung, seperti PT Bank Danamon Indonesia Tbk (Danamon), kendati mencatatkan penurunan kredit sebesar 7,41% yoy pada Agustus 2024 mencapai Rp 2,00 triliun.
Tetapi total kredit menganggur Danamon justru meningkat, mencapai Rp 103,71 triliun pada semester I-2024, naik 31,43% yoy dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp 78,91 triliun.
Sementara PT Bank CIMB Niaga Tbk mencatat total kredit sebesar Rp 4,36 triliun pada Agustus 2024, naik 4,31% yoy dari periode yang sama tahun sebelumnya Rp 4,18 triliun. Sejalan dengan itu, total kredit menganggur perseroan meningkat menjadi 6,71% menjadi Rp 105,13 triliun dari periode sama tahun sebelumnya sebesar Rp 98,52 triliun.
Presiden Direktur Bank CIMB Niaga, Lani Darmawan mengatakan, kebanyakan kredit menganggur tersebut berasal dari debitur segmen Usaha Kredit Menengah (UKM), Korporasi hingga Komersial.
"Saat ini kami tidak melihat ada pergerakan unused credit facility di CIMB Niaga karena pertumbuhan kredit non ritel juga selektif," ungkap Lani.
Adapaun di jajaran Bank Daerah juga mencatatkan kredit menganggur yang masih tinggi.
Edi Masrianto Direktur Keuangan, Treasury and Global Services Bank Jatim menjelaskan, untuk posisi di Agustus 2024, fasilitas kredit relatif sudah digunakan oleh debitur, hal ini dapat dilihat dari pertumbuhan total kredit month to month (MtM) yang disalurkan oleh BJTM, yang menyentuh Rp 60.6 triliun, tumbuh Rp 1,2 triliun dari Juli 2024.
Walau demikian, Edi mengaku terdapat peningkatan undisbursed loan di bulan Agustus sebesar Rp 1,3 triliun dari bulan Juli 2024 sebesar Rp 1 triliun.
"Sehingga kondisi tersebut mencerminkan terdapat pengaruh deflasi yang terjadi antara bulan Mei-September 2024 ini," katanya.
Hingga agustus 2024, undisbursed loan BJTM disebut Edi mendekati nilai 1% dari total keseluruhan kredit yang telah disalurkan.
Dengan sektor yang mendominasi dalam kurangnya pemaksimalan pemanfaatan kredit BJTM yaitu yang berhubungan dengan kredit modal usaha dibidang perdagangan dan infrastruktur.
Kendati begitu, dengan kebijakan penurunan suku bunga dasar yang ditetapkan oleh BI, pihaknya optimistis akan berpengaruh pada pertumbuhan kredit BJTM secara keseluruhan, termasuk pemanfaatan kredit oleh debitur.
Selain itu, peningkatan demand kredit kepada BJTM, terutama dari sektor-sektor yang berhubungan terhadap biaya modal seperti usaha kecil dan menengah (UMKM).
"Jika kondisi makroekonomi Jawa Timur tetap stabil hingga akhir tahun 2024 ini, tren penyaluran kredit Bank Jatim berpotensi tumbuh hingga akhir tahun sesuai yang ditargetkan," ujar Edi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News