Reporter: Adrianus Octaviano | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Di kala bank sulit memupuk bunga dalam menjalankan fungsi intermediasinya, sumber pendapatan lain pun bisa menjadi salah satu alternatif.
Salah satu yang menjadi sumber pendapatan adalah kepemilikan aset keuangan seperti Surat Berharga Negara (SBN), hingga obligasi.
Memang, kepemilikan surat utang oleh perbankan sempat menjadi sorotan karena mengindikasikan bank tidak menjalankan fungsi intermediasinya seperti pertumbuhan kredit yang lambat.
Nyatanya, kepemilikan surat utang tersebut justru mampu memberikan pendapatan lebih di kala bank harus menahan kenaikan cost of fund ditambah risiko kredit yang tinggi.
Baca Juga: Likuiditas Seret, Penerbitan Surat Utang Jadi Pilihan Perbankan
Jika menilik data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per April 2025, pendapatan bunga bersih dari bank umum tercatat hanya naik 3,95% secara tahunan (YoY) menjadi Rp 184,7 triliun.
Sementara itu, pendapatan yang berasal dari peningkatan nilai wajar dan keuntungan penjualan surat berharga naik hingga 117% YoY, meskipun nilainya masih kecil sekitar Rp 9,8 triliun.
Di laporan keuangan terbaru per Juni 2025 beberapa bank juga menunjukkan fenomena yang serupa. Ambil contoh, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) yang justru mencatatkan penurunan pendapatan bunga bersih sekitar 0,49% YoY menjadi Rp 56,16 triliun.
Di sisi lain, BRI mencatat keuntungan dari peningkatan nilai wajar aset keuangan sekitar Rp 3,18 triliun atau naik 38% YoY. Ditambah, keuntungan dari penjualan aset keuangan yang senilai Rp 1,19 triliun atau naik 39,6% YoY.
Baca Juga: Emiten Ramai-Ramai Terbitkan Surat Utang, Cermati Rekomendasi Analis
Contoh lainnya datang dari PT Bank CIMB Niaga Tbk yang memiliki pendapatan bunga senilai Rp 5,9 triliun per Juni 2025. Nilai tersebut juga mengalami penurunan dari periode sama tahun sebelumnya yang senilai Rp 6,1 triliun.
Sama halnya yang terjadi di industri, pos pendapatan yang berasal dari peningkatan nilai wajar dan keuntungan penjualan aset keuangan juga mengalami peningkatan. Adapun, nilai wajar aset keuangan naik 192% YoY dan dari penjualan aset keuangan naik 390,5% YoY.
Sedikit berbeda, PT Bank Central Asia Tbk (BCA) masih mencatatkan pendapatan bunga bersih yang tumbuh 6,4% YoY menjadi Rp 39,7 triliun. Ditambah, ada penurunan dari penjualan aset keuangan sekitar 25% menjadi Rp 608 miliar.
Hanya saja, BCA masih mencatat keuntungan dari peningkatan nilai wajar aset keuangan sekitar Rp 638,4 miliar. Di mana pada periode sama tahun sebelumnya, BCA justru mengalami kerugian dari penurunan nilai wajar aset keuangan senilai Rp 51,1 miliar.
Presiden Direktur CIMB Niaga Lani Darmawan mengungkapkan bahwa pendapatan non bunga memang menjadi fokus bank yang ia pimpin dalam beberapa waktu terakhir. Namun, kepemilikan surat berharga masih bagian kecil dari pos pendapatan tersebut.
Baca Juga: ST014 Capai Target, Surat Utang Pemerintah Lebih Menarik dari Surat Utang Korporasi?
“Kami selalu melihat peluang pada saat yang tepat, tapi ini bukan fee income inti,” ujar Lani (2/8).
Ia juga menjelaskan bahwa kepemilikan surat berharga terbilang sedikit dalam aset keuangan yang dimaksud. Di mana, ia bilang aset keuangan kebanyakan berasal dari portofolio kredit yang macet.
Adapun, kepemilikan surat berharga di CIMB Niaga juga terlihat susut per Juni 2025 senilai Rp 74,69 triliun. Posisi Desember 2024 masih senilai Rp 81,68 triliun.
“Kami monitor saja dengan seksama (untuk menambah surat utang),” ujarnya.
Sementara itu, EVP Corporate Communication & Social Responsibility BCA Hera F. Haryn menekankan bahwa keuntungan dari aset keuangan tersebut kontribusinya tak besar untuk pendapatan non bunga. Di mana, Pendapatan selain bunga BCA naik 10,6% YoY menjadi Rp13,7 triliun.
Baca Juga: Kuartal I Tumbuh 77,4%, Pefindo Optimis Prospek Surat Utang Korporasi Tetap Solid
Adapun, kenaikan pendapatan tersebut ditopang oleh total frekuensi transaksi BCA yang tumbuh 17% YoY pada semester I 2025, atau tumbuh 3,5 kali lipat dalam 5 tahun terakhir.
“Peningkatan frekuensi transaksi terwujud seiring inovasi layanan dan produk, serta ekspansi ekosistem transaksi perbankan secara terus-menerus,” ujar Hera.
Melihat fenomena tersebut, Pakar Ekonomi Sekaligus Owner PT Bejana Investidata Globalindo, Yanuar Rizky bilang bahwa kini terlihat bahwa bank lebih mengalokasikan dana ke fungsi treasury, dibanding intermediasi.
Dalam hal ini, ia menjelaskan bunga kredit maupun deposito selalu berpatokan pada BI rate. Namun, imbal hasil untuk surat berharga seperti SBN bisa lebih tinggi dari BI rate.
“Bagi bank, insentif laba ke treasury lebih besar dari intermediasi, dari sisi risiko kredit macet pun tidak ada,” ujar Yanuar.
Baca Juga: Global Mediacom (BMTR) Terbitkan Surat Utang Rp 1,4 Triliun, Imbal Hasil sampai 7,9%
Di sisi lain, Yanuar berpendapat sejatinya pembelian SBN oleh bank bisa dibilang sebagai fungsi intermediasi secara tidak langsung.
Dengan harapan, belanja fiskal (APBN) dari penerbitan SBN mampu meningkatkan lapangan kerja, meningkatkan kegiatan produktif ekonomi, sehingga pertumbuhan konsumsi (PPn) dan daya kerja (PPh).
Kenyataannya, Yanuar melihat hal tersebut tak terealisasikan dengan tax ratio yang tetap rendah dan rasio utang kian naik. “Jadi realitanya crowding out terhadap perekonomian,” pungkasnya.
Selanjutnya: KAI Expo 2025 Banjir Diskon, Harga Tiket Lebih Murah hingga 60%
Menarik Dibaca: Waspadai Anak yang Menggunakan Chatbot AI dan Teman Virtual di Era Digital
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News