Reporter: Nadya Zahira | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menanggapi perihal masalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang digugat oleh sejumlah korban pemberi dana atau lender platform fintech peer to peer (P2P) lending. Untuk diketahui, para lender tersebut mengalami gagal bayar dari beberapa fintech seperti Investree hingga Tanifund.
Ketua Umum AFPI Entjik S. Djafar menuturkan bahwa dirinya tidak mengetahui secara rinci dan detail terkait dengan masalah gugatan tersebut. Namun, terkait poin SEOJK yang dimaksud, dia mengatakan bahwa saat ini OJK telah menerbitkan kebijakan baru terkait kriteria lender non profesional.
“Hal ini tentu dilakukan sebagai upaya melindungi lender dan konsumen fintech P2P Lending atau yang sekarang kami sebut pindar (pinjaman daring). Makanya sekarang lender itu diatur, harus lender yang profesional,” kata Entjik dalam acara AFPI Journalist Workshop & Gathering di Kabupaten Bandung Barat, Rabu (22/1).
Dia menuturkan bahwa masih banyak lender-lender yang non-profesional dan tidak mengerti roll bisnis pindar. Sehingga pihaknya akan mengedukasi para perusahaan pindar untuk lebih selektif dalam memilih lender.
Baca Juga: Akseleran Sebut Penyaluran Pembiayaan Terbesar Masih di Pulau Jawa
Di sisi lain, Entjik menjelaskan, dalam industri fintech P2P lending, terjadi hubungan antara lender (pemberi dana) dengan borrower (peminjam). Sedangkan, pindar hanya sebagai platform atau wadah untuk mempertemukan kedua pihak tersebut.
"Jadi tanda tangan perjanjian kredit itu bukan di kami, tanda tangan perjanjian kredit adalah di lender dan borrower. Kami hanya broker atau sebagai mak comblang,” imbuhnya.
Kendati begitu, Entjik mengatakan bahwa AFPI terus berupaya untuk memberikan perlindungan terhadap lender. Salah satunya yaitu, AFPI ikut turun tangan membantu penagihan hingga 90 hari. Ia menyebut, setelah waktu tersebut belum mendatangkan hasil, maka akan dibuka opsi untuk melakukan penagihan melalui pihak ketiga.
"Lalu jika sudah sampai di atas 90 hari, kalau masih menunggu, kita akan informasikan ke lender. Apakah masih mau diteruskan? Kalau lender sampaikan ingin diteruskan, maka akan kami teruskan, atau kita memberikan kepada pihak ketiga untuk menagih," imbuhnya.
Sebagai informasi, berdasarkan data SIPP Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), gugatan tersebut terdaftar di PTUN dengan Nomor 18/G/2025/PTUN.JKT per 20 Januari 2025.
Dalam gugatan itu, sebanyak 142 pemberi dana atau lender yang tergabung dalam komunitas lender korban fintech peer to peer (P2P) lending melayangkan gugatan terhadap Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya (PVML) OJK Agusman.
Diketahui, 142 lender tersebut merupakan lender dari 4 fintech lending, yaitu PT Investree Radhika Jaya atau Investree (dicabut izin usaha), PT Tani Fund Madani Indonesia atau TaniFund (dicabut izin usaha), PT Igrow Resources Indonesia atau PT LinkAja Modalin Nusantara atau iGrow, dan PT Modal Rakyat Indonesia atau Modal Rakyat.
Adapun gugatan itu berfokus pada permintaan peninjauan kembali atau pencabutan Surat Edaran (SE) OJK Nomor 19/SEOJK.06/2023 terkait penyelenggaraan layanan pendanaan berbasis teknologi informasi (LPBBTI).
SE tersebut dinilai membebani pemberi dana atau lender. Pasalnya, dalam sub judul IV tentang mekanisme penyaluran dan pelunasan pendanaan, tepatnya pada poin bagian h, disebutkan bahwa seluruh risiko pendanaan yang timbul dalam transaksi LPBBTI ditanggung sepenuhnya oleh lender.
Baca Juga: OJK Rancang Produk Asuransi Khusus untuk Fintech Lending, Ini Kata Pengamat
Selanjutnya: Modernisasi Pengawasan, Wajib Pajak Risiko Tinggi Jadi Prioritas
Menarik Dibaca: Promo Guardian Terbaru 23 Januari-5 Februari 2025, Tambah Rp 1.000 Dapat 2 Maskara
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News