Reporter: Adrianus Octaviano | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bayang-bayang ketatnya likuiditas belum terlepas bagi industri perbankan Indonesia. Bahkan, perbankan KBMI 4 yang mendominasi Dana Pihak Ketiga (DPK) hingga 54% di industri ini pun turut merasakan ketatnya likuiditas tersebut.
Memang, dalam dua bulan terakhir, tampak ada perbaikan likuiditas yang dimiliki oleh bank-bank raksasa tanah air ini secara bulanan.
Namun, perlu diingat, ada beberapa bank yang memiliki Loan to Deposit Ratio (LDR) yang berada di level 90% bahkan mendekati 100%.
Di kalangan bank KBMI 4, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) memiliki rasio LDR paling tinggi yaitu mencapai 95,7% per Februari 2025.
Hal tersebut mengalami penurunan jika dibandingkan bulan sebelumnya yang berada di 96,8%. Tapi, kalau dibandingkan secara tahunan, mengalami kenaikan cukup signifikan dari level 87,8%.
Baca Juga: Di Antara 4 BPD Jumbo, Bank Jateng Catat Laba Terbesar Hingga Februari 2025
Jika dilihat secara rinci, permasalahan LDR BNI yang naik signifikan secara tahunan karena kredit dan DPK yang tumbuh tak seimbang.
Pada Februari 2025, kreditnya bisa tumbuh 10,2% YoY, sementara DPK-nya hanya mengalamI pertumbuhan 1% YoY.
Kondisi serupa juga terjadi pada PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) yang memiliki LDR berada di level 92,5% per Februari 2025.
Angka tersebut lebih rendah jika dibandingkan periode Januari 2025 yang berada di level 93,7%, tetapi mengalami kenaikan jika dibandingkan periode Februari 2024 di level 90,8%.
Sebagai catatan, LDR bank berlogo pita emas ini bisa mengalami penurunan secara bulanan karena di periode yang sama kreditnya hampir tak mengalami pertumbuhan. Sementara, DPK Bank Mandiri per Februari 2025 masih mampu tumbuh 1,4% secara bulanan.
Kondisi sedikit berbeda terjadi pada PT Bank Central Asia Tbk (BCA) yang konsisten mengalami kenaikan LDR baik itu dilihat secara bulanan maupun tahunan.
LDR BCA per Februari ada di level 80,6%, dibandingkan pada Januari 2025 yang berada di level 79,7% dan di Februari 2024 berada pada level 73,5%.
Baca Juga: BI Sudah Tebar Insentif KLM Hingga Rp 292 Triliun, Bisa Membantu Likuiditas Bank?
Adapun, salah satu hal yang menarik di BCA adalah ada penurunan DPK secara bulanan untuk periode Februari 2025. DPK BCA di Januari 2025 senilai Rp 1.120 triliun dan sebulan berikutnya turun menjadi Rp 1.118 triliun.
Investment Analyst Stockbit Everson Sugianto sepakat bahwa salah satu alasan dari pengetatan likuditas tersebut adalah kondisi DPK di bank swasta terbesar tanah air ini.
Di sisi lain, kredit BCA masih mengalami pertumbuhan 14% YoY, meskipun melambat dari bulan sebelumnya yang tumbuh 15% YoY.
“Dinamika ini membuat LDR BCA kembali tembus level 80%,” ujar Everson dalam keterangannya, dikutip Minggu (6/4).
Meski demikian, Everson menilai permasalahan likuiditas memang bukan merupakan permasalahan satu dua bank tetapi masalah industri. Di mana, ia menilai BCA tetap memiliki likuiditas yang relatif baik dibandingkan dengan bank KBMI 4 lainnya.
Sementara itu, Everson juga menyoroti likuiditas Bank Mandiri yang sejatinya semakin membaik.
Menurutnya, Bank Mandiri melanjutkan tren kenaikan kredit yang lebih soft seiring guidance dari manajemen terkait pertumbuhan kredit hanya di kisaran 10% hingga 12% untuk tahun ini. Hal tersebut pun untungnya diikuti dengan pertumbuhan DPK yang kuat.
“LDR Bank Mandiri saat ini sejalan dengan guidance manajemen yang menargetkan LDR dapat ternomalisasi ke kisaran 90% hingga 95% selama tahun 2025,” ujarnya.
Baca Juga: Likuiditas Perbankan Ketat, Begini Rekomendasi Bank Syariah Indonesia
Corporate Secretary Bank Mandiri M Ashidiq Iswara menjelaskan bahwa dalam mengelola likuiditas di tahun 2025, Bank Mandiri berfokus pada penguatan dan efisiensi struktur pendanaan. Menurutnya, dengan struktur pendanaan yang kuat, rasio LDR akan tetap optimal.
“Ini untuk mendukung ekspansi bisnis kredit dan di sisi lain biaya dana tetap terjaga rendah,” ujar Ashidiq.
Ia bilang upaya tersebut juga didukung oleh strategi pertumbuhan berbasis ekosistem nasabah wholesale serta mendorong pertumbuhan DPK yang lebih tinggi dari pertumbuhan kredit agar mendukung likuiditas yang optimal dan sustain.
Dalam hal meningkatkan DPK, Ashidiq mengungkapkan akan berfokus pada penghimpunan dana murah (CASA), khususnya yang bersifat transaksional melalui peningkatan volume dan frekuensi transaksi nasabah, baik di segmen wholesale maupun di segmen retail.
Sementara itu, Royke Tumilaar yang baru saja pensiun jadi Direktur Utama BNI pada akhir Maret lalu mengungkapkan bahwa bank yang ia pimpin selama lima tahun belakang ini memiliki pekerjaan rumah terkait likuiditas.
Royke bilang permasalah likuiditas utamanya dipengaruhi oleh sentimen global, di mana volatilitas dan ketidakpastian ekonomi cukup tinggi. Padahal, ada kepentingan pembiayaan hilirisasi yang membutuhkan dolar AS cukup tinggi.
“Perbankan ini rata-rata LDR-nya tinggi, Jadi kan harus menaikkan DPK," ujar Royke, belum lama ini.
Oleh karenanya, ia mengingatkan bank seperti BNI perlu mencari sumber-sumber baru untuk mengumpulkan DPK. Misalnya, salah satu sumber yang dapat menumbuhkan DPK adalah adanya pengeluaran pemerintah yang cepat.
Selain itu, Royke bilang bank juga perlu cepat-cepat cari pendanaan dolarnya lebih kencang. Tentunya dengan memperhatikan cost of fund dari bank itu sendiri.
Ia menyadari saat ini cost of fund di BNI juga masih tergolong tinggi. Artinya, pekerjaan manajemen baru perlu menjaga agar itu tidak naik lagi.
Selanjutnya: Rahasia Gaya Hidup Hemat Generasi Modern yang Bikin Dompet Tetap Aman Setiap Bulan
Menarik Dibaca: Katalog Promo Alfamidi Hemat Satu Pekan Periode 7-13 April, Cek di Sini!
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News