CLOSE [X]
kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.470.000   4.000   0,27%
  • USD/IDR 15.946   -52,00   -0,33%
  • IDX 7.161   -53,30   -0,74%
  • KOMPAS100 1.094   -8,21   -0,74%
  • LQ45 872   -4,01   -0,46%
  • ISSI 216   -1,82   -0,84%
  • IDX30 446   -1,75   -0,39%
  • IDXHIDIV20 540   0,36   0,07%
  • IDX80 126   -0,84   -0,67%
  • IDXV30 136   0,20   0,15%
  • IDXQ30 149   -0,29   -0,20%

Mantan DGS BI Mirza : default sengaja bisa mengancam jantung ekonomi


Minggu, 29 Maret 2020 / 23:08 WIB
Mantan DGS BI Mirza : default sengaja bisa mengancam jantung ekonomi
ILUSTRASI. Mirza Adityaswara saat ditemui di acara silaturahmi dengan media di Bank Indonesia pada Selasa (23/7) oleh Bidara Deo Pink


Reporter: Titis Nurdiana | Editor: Titis Nurdiana

KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Viral video yang memperlihatkan gerombolan debitur menggeruduk multifinance karena merasa dibebaskan membayar cicilan selama 1 tahun akibat penyebaran corona (Covid-19) membuat  ekonom yang juga mantan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara angkat suara.

Menurut Mirza, relaksasi pembebasan pembayaran cicilan bukan untuk semua debitur. Keinginan Presiden Joko Widodo memberikan relaksasi cicilan sejatinya sudah tertuang jelas dalam aturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) lewat Peraturan OJK (POJK) tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran CoronaVirus Disease.

Mirza menyebut, informasi penundaan cicilan kredit harus diluruskan dan dikaitkan dengan POJK 11/2020 itu. Menurut dia, bank dan lembaga pembiayaan hanyalah lembaga intermediary alias lembaga perantara antara nasabah (penabung) dengan debitur (pengutang).

“Sumber dana bank dan lembaga pembiayaan kredit ini adalah dana masyarakat   yakni tabungan dan deposito,” ujar Mirza kepada Kontan, akhir pekan lalu (27/3).  Ini, kata Mirza, acap dilupakan debitur, bahkan politisi-politisi.

Jika para debitur tak mau atau berhenti membayar cicilannya, padahal mampu dampaknya akan membuat bisnis bank dan lembaga pembiayaan terhenti, padahal bank dan lembaga pembiayaan harus membayar bunga ke deposan dan penabung. Jika ini terjadi, bank juga akan berhenti memberikan kredit. “Padahal, kredit perbankan dan kredit lembaga pembiayaan adalah seperti darah di tubuh kita, artinya tanpa aliran kredit maka perekonomian akan berhenti,” ujar Mirza lebih lanjut.

Menurut catatan Mirza, sekitar 30% kredit perbankan adalah untuk kredit sektor konsumsi seperti Kredit Pemilikan Rakyat (KPR), Kredit Pemilikan Mobil/Motor, dan sekitar 15%- 20% adalah kredit UMKM. “Jika  terhenti membayar cicilan, kita menghadapi risiko "default  disengaja’,” ujar dia.

Dengan eksposur kredit konsumsi dan UMKM sampai 50%, atau setara dengan Rp 2.500 triliun, kata Mirza: “Jumlah itu pasti akan membangkrutkan ekonomi Indonesia.”

Oleh karena itu, kata dia, paket stimulus OJK harus disikapi dgn bijaksana.  Aturan tersebut memberikan kelonggaran bagi bank dan lembaga pembiayaan untuk masing masing menganalisa debitur yang benar- benar terdampak langsung oleh Covid 19. “Jadi , bukan untuk semua debitur,” kata dia.  

 Peraturan OJK, kata Mirza,secara jelas menyatakan bahwa industry keuangan harus menghindari moral hazard.  “Jangan debitur yang sehat menjadi tidak mau bayar utang ataupun debitur yang sudah macet sebelumadanya Covid-19 kemudian menjadi tidak kooperatif,” ujar dia. Menurutnya, dalam kondisi saat ini, sudah seharusnya bersama sama menjaga menjaga kesehatan ekonomi Indonesia, selain kesehatan pribadi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×