Reporter: Adrianus Octaviano | Editor: Putri Werdiningsih
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintahan Joko Widodo dan KH Maruf Amin akan berakhir pada 20 Oktober mendatang. Bagi PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN), era pemerintahan tersebut mampu mendongkrak kinerja penyaluran kredit pembiayaan rumah.
Selama semester I 2024 saja, tercatat total kredit dan pembiayaan BTN pada mencapai Rp 352 triliun. Angka ini tumbuh 35,33% jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Program pemerintah untuk menyediakan rumah atau hunian layak bagi warga berhasil menekan angka backlog dan berdampak aset dan penyaluran kredit BTN. Dimana, pemerintahan Jokowi jilid 2 berhasil mewujudkan agenda 1 juta rumah per tahun untuk menekan angka backlog perumahan yang masih bertengger di angka 12 juta.
Hanya saja, penyaluran kredit dan pembiayaan BTN sempat terganggu pandemi Covid-19 yang menyebabkan perekonomian mengalami kontraksi. Dengan mengusung prinsip kehati-hatian saat pandemi, bank pelat merah ini tetap mencatatkan peningkatan penyaluran kredit.
Baca Juga: BTN Mobile Terus Digenjot, Transaksi Sudah Mencapai 28,19 Juta Per Agustus 2024
Nah, di era pemerintahan Prabowo Subianto, program penyediaan rumah dan hunian layak ini rencananya masih akan dilanjutkan. Dari target 1 juta rumah pertahun, meningkat menjadi 3 juta rumah pertahun.
Agenda prioritas pemerintah di sektor perumahan tersebut bakal menempatkan kembali PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN) sebagai tulang punggung program. Bank BUMN spesialis KPR ini telah memainkan peran penting dalam menyalurkan KPR bersubsidi dan menjadi ujung tombak penekan angka backlog selama program sejuta rumah berjalan.
“BTN melayani dua sisi secara simultan, yakni pengembang kelas menengah bawah dan konsumen di segmen masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Tanpa keberpihakan dan konsistensi, sulit membayangkan jutaan rumah subsidi bisa terbangun dan terbeli oleh masyarakat kecil,” kata Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah.
Piter menjelaskan, konsistensi BTN dalam menjalankan mandat pemerintah tentu mendatangkan banyak konsekuensi, termasuk ke kinerja keuangan. Dengan menyalurkan KPR subsidi ke segmen MBR, yang besaran bunganya terbilang rendah dan tidak bisa diubah, BTN tidak dapat menikmati marjin tinggi.
Baca Juga: BTN Pertimbangkan Turunkan Bunga KPR Pasca BI-Rate Turun
Skema KPR subsidi (FLPP) tentu berbeda dengan KUR. Bank penyalur KUR dapat menetapkan bunga kredit sesuai harga pasar tapi selisih bunganya ditanggung pemerintah. Jadi, nasabah tetap dapat bunga murah dan bank penyalur tetap menikmati marjin tinggi.
“FLPP tidak seperti itu. Andai skema KPR bersubsidi menggunakan skema KUR, dampak ke marjin BTN pasti jauh lebih baik,” kata Piter.
Maka itu, lanjut Piter, terbilang wajar jika net interest marjin (NIM) BTN terbilang tertinggal dibandingkan bank lainnya, bahkan di bawah rata rata industri. Tekanan marjin makin menjadi jadi ketika bunga acuan BI merangkak naik seiring perubahan kebijakan the Fed demi memerangi inflasi tinggi. BTN harus bayar bunga simpanan lebih mahal sementara kenaikan biaya dana ini tidak serta merta dikompensasikan dalam bentuk kenaikan bunga kredit.
NIM BTN sempat di bawah 3% di era bunga tinggi lantaran pendapatan bunga bersih tergerus oleh lonjakan biaya dana.
“Belakangan BTN agresif mengembangkan segmen bisnis komersial dan produk high yield loan. Kombinasi antara efek penurunan bunga acuan dan inovasi di produk komersial serta bermarjin tinggi, saya kira akan mengembalikan tingkat marjin atau profitabilitas BTN ke level yang ideal,” kata Piter.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News