Reporter: Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) 16-17 September 2020 akhirnya memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan sebesar 4%. Salah satu alasan utama BI adalah dengan mempertimbangkan perlunya menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah di tengah inflasi yang diperkirakan tetap rendah.
Menurut Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) keputusan tersebut justru tidak tepat. Lantaran menurutnya bunga acuan di level 4% termasuk tinggi, dan bisa menghambat pemulihan ekonomi nasional yang dicanangkan pemerintah.
Menurutnya, kebijakan moneter dilakukan di tengah resesi ekonomi adalah menurunkan suku bunga acuan dan suku bunga kredit untuk membangkitkan permintaan, konsumsi dan investasi. Untuk membangkitkan ekonomi nasional. "Alasan mempertahankan suku bunga acuan 4% sangat aneh. Inflasi diperkirakan rendah, tapi suku bunga tidak diturunkan. Artinya, kebijakan moneter BI lebih mengutamakan stabilitas rupiah, di atas pemulihan ekonomi," katanya saat dihubungi Kontan.co.id, Jumat (18/9).
Baca Juga: Bukan pangkas suku bunga, ini cara efektif dorong kredit menurut ekonom saat pandemi
Kebijakan moneter BI memang dilematis. Kalau BI menurunkan suku bunga, pemulihan ekonomi akan lebih cepat terealisasi. Sebab, secara teori penurunan suku bunga acuan akan diikuti penurunan suku bunga kredit, termasuk suku bunga obligasi dan Surat Berharga Negara (SBN). Penurunan suku bunga SBN bisa membuat investor menarik diri. Khususnya investor asing, SBN menjadi kurang diminati.
Bila ini terjadi menurut Anthony, bisa saja investor asing mungkin lebih memilih obligasi negara lain. Misalnya Vietnam, Thailand, Singapore, atau Malaysia. Dampaknya tentu bisa membuat suplai dollar (mata uang asing) ke Indonesia akan turun.
"Kebutuhan untuk membayar utang luar negeri (pemerintah dan swasta) yang jatuh tempo. Kebutuhan untuk membayar utang luar negeri (pemerintah dan swasta) yang belum jatuh tempo tapi dicairkan oleh investor bersangkutan melalui pasar obligasi," katanya.
Berdasarkan catatannya, defisit transaksi berjalan tahun 2019 ada sekitar US$ 30 miliar. Defisit ini turun di masa pandemi 2020, karena impor turun tajam dan membuat neraca perdagangan mengalami surplus cukup besar.
Baca Juga: BI: Pelemahan rupiah akibat ketidakpastian di pasar keuangan
Sementara defisit transaksi berjalan pada semester I 2020 sebesar US$ 6,6 miliar. Kalau defisit ini berlanjut di semester II 2020, maka bisa saja kebutuhan dolar akhir tahun diperkirakan hanya sebesar US$ 5 miliar menurut Anthony.
Pasalnya, utang luar negeri (ULN) per 31 Desember 2019 yang akan jatuh tempo tahun 2020 ada sebanyak US$ 63,3 miliar. Terdiri dari utang pemerintah (dan Bank Indonesia) sebesar US$ 11,25 miliar dan utang swasta (termasuk BUMN) sebesar US$ 52,06 miliar. Belum termasuk pembayaran bunga.
"Kelompok ketiga lebih berbahaya karena tidak terukur. Ketika asing tidak tertarik lagi memberi pinjaman ke Indonesia, misalnya karena suku bunga dianggap rendah, dan menjual obligasinya, maka kurs rupiah mengalami tekanan dan anjlok. Seperti terjadi pada akhir Maret 2020 di mana kurs rupiah di pasar spot sempat mencapai Rp 17.000 per dolar AS," sambungnya.