Reporter: Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang | Editor: Tendi Mahadi
Walhasil, menelisik pada hal-hal tersebut dan untuk menjaga agar agar investor terus tertarik memberi pinjaman ke Indonesia, untuk menutupi kebutuhan dolar yang besar tersebut, maka Bank Indonesia harus mempertahankan suku bunga tinggi.
Tetapi tentu keputusan BI sangat dilematis. Bila suku bunga dibiarkan di level tinggi maka akan menghambat pemulihan ekonomi. Serta, merugikan perusahaan dan nasabah perorangan yang mempunyai pinjaman dalam rupiah.
"Total kredit dalam rupiah mencapai Rp 5.000 triliun lebih (termasuk perusahaan pembiayaan). Dari jumlah tersebut, kredit konsumsi mencapai Rp 1.600 triliun. Kelompok peminjam rupiah ini sangat dirugikan dengan kebijakan moneter mempertahankan suku bunga tinggi yang notabene menguntungkan investor asing," imbuhnya.
Baca Juga: Percepat pembangunan LRT Jabobek, KAI teken perjanjian kredit tambahan Rp 4,2 triliun
Berdasarkan hitung-hitungannya, setiap penurunan 1% bunga kredit sekurang-kurangnya akan memberi tambahan likuiditas Rp 50 triliun per tahun kepada kelompok peminjam rupiah. Praktis, penurunan bunga kredit yang ideal di masa resesi ini bisa mencapai 5% dibandingkan bunga kredit saat ini. Sehingga potensi kerugian masyarakat mencapai Rp 250 triliun per tahun.
Dus, Anthony memandang kerugian mempertahankan suku bunga acuan jauh melampaui bantuan stimulus fiskal. Sehingga, menghambat pemulihan ekonomi nasional. "Kebijakan moneter saat ini tersandera dengan kondisi ekonomi yang lemah: defisit transaksi berjalan yang akut dan ULN yang besar." pungkasnya.
Selanjutnya: Ada pinjaman modal bisa tanpa agunan dari BNI, ini syarat dan bunga KUR mikro BNI
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News