Reporter: Ruisa Khoiriyah | Editor: Uji Agung Santosa
JAKARTA. Wacana peleburan alias merger bank-bank BUMN mengemuka kembali ke publik. Ini terkait dengan keinginan banyak pihak yang menginginkan agar bank nasional utamanya bank BUMN bisa menjadi bank kelas dunia alias world class banking.
"Cetak biru perbankan harus menjadi mimpi punya wold class banking. Ini menjadi komitmen semua pihak, baik pemerintah, Bank Indonesia dan DPR. Ini harus ada visi dan misi untuk mendorong bank BUMN," ungkap Ketua Umum Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional (Perbanas) Sigit Pramono dalam acara diskusi bertema Orientasi Pengembangan Industri Jasa Perbankan Menuju World Class Banking di acara Indonesia Business-BUMN Expo and Conference (IBBEX), Jumat (24/9).
Dukungan bisa dikonkretkan dengan mendorong merger dua bank BUMN yang selama ini dinilai banyak bermain di pasar yang sama yakni Bank Mandiri dengan Bank BNI. Merger dua bank BUMN nomer satu dan nomer tiga ini bisa melahirkan bank baru dengan ukuran ketiga terbesar di kawasan ASEAN.
Sigit menyambung, dari sisi regulasi dukungan bisa dilakukan dengan mengecualikan kedua bank tersebut dari aturan kepemilikan tunggal atau single presence policy (SPP).
Mengejar target bank berkelas dunia, menurut Sigit, agak sulit jika dilakukan hanya melalui pertumbuhan organik. Dus, memperbesar aset bank dengan aksi merger maupun akuisisi (non-organik) bisa ditempuh untuk mencapai tujuan tersebut.
"Misal Bank Mandiri besar, kemudian keluar SPP. Akusisi menjadi tak didukung. Saya menyarankan rencana BRI mengakusisi Bukopin dukung saja. Biar menciptakan kompetisi di bank BUMN. Bank Mandiri akan gerah dan melakukan akuisisi," paparnya.
Direktur Utama BNI Gatot M. Suwondo yang hadir dalam forum yang sama menilai, konsep world class bank memerlukan kajian lebih mendalam. Apakah yang dimaksud sekadar bank yang besar secara aset dan permodalan atau bank dengan ekspansi usahanya yang luas di mancanegara.
"Jika dilihat dari operasional, kami sudah world class, BNI sudah masuk duluan dengan cabang-cabangnya. Tapi, kalau mengikuti standar BI ya belum. Saya tidak tahu apakah harus karena modal kami belum mencapai Rp50 triliun," tuturnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News