Reporter: Ferrika Sari | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai kasus gagal bayar Asuransi Jiwasraya tidak terlalu berdampak besar bagi industri jasa keuangan di Indonesia. Hal ini terlihat dari jumlah aset Jiwasraya masih kalah jauh dengan industri asuransi.
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan, nilai aset asuransi Jiwasraya tercatat sebesar Rp 22,03 triliun atau sekitar 1,6% dari total aset industri asuransi pada tahun lalu. Nilai aset Asuransi Jiwasraya ini sekitar 0,19% dari total aset industri jasa keuangan yang sekitar Rp 11.300 triliun.
Baca Juga: Asuransi syariah ingin garap asuransi BMN, OJK jemput bola ke Kemenkeu
“Kalau kami lihat, porsi Jiwasraya dibandingkan total industri asuransi masih cukup kecil hanya 1%. Dampak dari Jiwasraya ini dari total kecil sekali,” kata Wimboh di Jakarta, Rabu (26/2).
Untuk itu, ia meminta masyarakat tak perlu khawatir dan pihaknya akan segera menyelesaikan masalah tersebut. Tentunya OJK tidaknya hanya menyelesaikan kasus Jiwasraya, tapi sistem pengawasan di pasar modal serta ekosistemnya.
“Berkaitan dengan bagaimana ekosistem sektor keuangan, kita tahu tadi ada disebut virus Jiwasraya. Itu kalau dianggap virus tidak masalah. Pertanyaannya virus itu mau kita simpan atau kita buka sekarang? Suatu saat kalau ada hal-hal yang governance-nya tidak bagus, pasti akan kami buka,” ungkapnya.
Baca Juga: OJK akan batasi penjualan bancassurance, ini tanggapan Bank Mandiri
Nah, sekarang yang dibenahi OJK bukan hanya Jiwasraya tetapi sektor jasa keuangan. Menurut dia, yang terpenting adalah solusi ke depan bagi Jiwasraya akan masyarakat kembali percaya menggunakan layanan di sektor keuangan.
Hal ini diiringi penciptaan platform terintegrasi antara pasar modal dan manajer investasi (MI). Nantinya MI bisa menggunakan platform tersebut untuk mengeluarkan berbagai instrumen investasi sehingga yang bisa masuk ke situ bukan hanya individu tetapi juga lembaga jasa keuangan.
“Di antaranya Jiwasraya itulah yang banyak berinvestasi di manajer investasi,” tambahnya.
Baca Juga: Kemenag: Potensi asuransi perjalanan umrah bisa capai Rp 60 miliar
Wimboh menambahkan, ekosistem dimulai dari pasar modal. Maka itu, tidak ada imbal hasil pasti atau guaranteed return misalnya saja pada investasi di reksadana karena kondisi pasar modal volatile atau naik turun.
“Instrumen investasi itu pasti ada dua. Selain dari harga, instrumennya itu sendiri volatile, yang kedua juga ada yang kalau saham mana ada fixed return. Enggak ada guaranteed return,” ungkapnya.
Baca Juga: Incar potensi DPK di Jakarta Selatan, BTN relokasi kantor cabang
“Kalau underlying-nya fixed income mungkin bunganya bisa fix return. Tapi ternyata harganya instrumen itu juga tidak bisa selalu konstan. Makannya kami himbau masyarakat tidak ada yang bisa memberikan fixed return di reksa dana itu,” tutupnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News