Reporter: Maizal Walfajri | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencermati loan at risk (LAR) yang masih tinggi di kisaran 19% menjadi isu bagi perbankan. Regulator meminta perbankan untuk memantau agar LAR tidak mengalami pemburukan menjadi kredit bermasalah alias non performing loan (NPL).
“Kami lakukan komunikasi, dan meminta bank untuk terus memupuk pencadangannya. Berdasarkan pantauan kami pencadangan ini terus meningkat dari waktu ke waktu,” ujar Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana secara virtual, Selasa (15/2).
Menurutnya, kredit restrukturisasi terus menurun dari puncaknya yang hampir mencapai Rp 1.000 triliun. OJK menyebut sisa kredit yang direstrukturisasi masih cukup tinggi sehingga bank harus melakukan simulasi untuk mengetahui kualitas restrukturisasi.
“Secara industri, survei mereka menyatakan restrukturisasi yang gagal sekitar 5%. Mudah-mudahan hanya seperti itu. Kami dari OJK juga akan terus memantau untuk simulasi ini,” jelasnya.
Hingga Desember 2021, outstanding restrukturisasi kredit akibat Covid-19 mencapai Rp 663,5 triliun terhadap 4,08 debitur. Terdiri dari Rp 406,77 triliun terhadap 938.000 debitur non UMKM. Juga sebanyak Rp 256,72 triliun terhadap 3,14 juta debitur UMKM.
Baca Juga: OJK: Gap Pertumbuhan DPK Lebih Tinggi dari Kredit Jadi PR Bagi Industri Perbankan
Angka tersebut turun dibandingkan posisi Desember 2020, dimana jumlah outstanding restrukturisasi mencapai Rp 829,93 triliun terhadap 6,26 juta debitur.
Bila dirinci terdiri dari Rp 494,9 triliun terhadap 1,68 juta debitur Non-UMKM. Lalu sebanyak Rp 335,05 triliun terhadap 4,57 juta debitur UMKM.
Seiring dengan itu, jumlah CKPN yang telah dibentuk oleh sektor perbankan untuk keseluruhan kredit yang diberikan mencapai Rp 345,54 triliun pada akhir tahun lalu. Nilai ini meningkat 13,79% yoy.
PT Bank Mandiri (Persero) Tbk juga mengalami penurunan nilai restrukturisasi kredit.
Direktur Manajemen Risiko Bank Mandiri Ahmad Siddik Badruddin menyatakan sisa kredit yang direstrukturisasi mencapai Rp 69,7 triliun. Nilai itu terus turun dari total kredit yang sudah dapat kelonggaran sebesar Rp 138 triliun.
“Sebagiannya sudah lunas, kembali dibayar, dan ada juga yang balik normal. Kita asumsikan kebijakan relaksasi itu akan berakhir Maret 2022. Sehingga dari 2020 hingga sekarang, kita menganut konsep yang konservatif untuk kredit restrukturisasi mulai dari low, medium, hingga high risk,” ujar Siddik.
Ia menyatakan, Bank Mandiri memilih mencadangkan kredit restrukturisasi yang tergolong high risk untuk kredit yang lebih berisiko mengalami pemburukan setiap bulan. Walaupun secara aturannya, tidak perlu dibentuk pencadangan. Bank juga memilih menetapkan kredit restrukturisasi sebagai non performing loan (NPL) bagi nasabah yang susah kembali kembali normal.
Ia berharap dengan langkah ini, Bank Mandiri tidak akan mengalami NPL shock saat normalisasi kebijakan dilakukan.
Seiring dengan itu, Bank Mandiri melakukan cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) sebesar Rp 15,2 triliun termasuk untuk kredit restrukturisasi. Sedangkan cost of credit (CoC) Bank Mandiri turun dari 2,2% menjadi jadi 1,9%.
“Kebutuhan untuk menambah CKPN makin berkurang karena ekonomi makin pulih dan kemampuan tim kami di lapangan mengelola restrukturisasi makin baik. Kemudian, NPL di Bank Mandiri membaik menjadi 2,8% dibandingkan 3,1% di 2020,” paparnya.
Baca Juga: Bank Optimistis Pemulihan Kredit Akan Tumbuh di 2022
Ia mengklaim, kredit yang akan jatuh ke NPL semakin berkurang. Seiring dengan upaya bank menyalurkan kredit baru ke sektor yang mulai pulih dan unggulan di setiap daerah.
“Loan at rsik (LAR) termasuk Covid-19 di 2021 ada di level 17,75% turun dari 2020 pada angka 22,3%. Angka itu diharapkan terus turun target kami sih 15% atau lebih baik,” jelasnya.
Direktur Manajemen Risiko BNI David Pirzada menyatakan sampai akhir 2021, rasio NPL di 3,7%,Turun signifikan 60 bps yoy dari 4,3% di 2020. Sedangkan rasio LAR include covid juga turun menjadi tercatat 23,3% di 2021. Sedangkan LAR di luar Covid-19 di level 12,3%
“Total baki restruk turun sudah signifikan posisi akhir 2021 di angka Rp 72,12 triliun. Kredit restruk non covid Rp 50,8 triliun. Pemupukan CKPN mencapai RP 50,29 triliun,” jelasnya.
Sedangkan Direktur BCA Vera Eve Lim menyatakan pada tahun 2021, total kredit BCA mampu tumbuh 8,2% YoY mencapai Rp637,0 triliun. Pertumbuhan kredit ini diikuti oleh perbaikan kualitas pinjaman, sejalan dengan kredit yang direstrukturisasi berangsur kembali ke pembayaran normal.
“Rasio loan at risk (LAR) turun ke 14,6% di tahun 2021, dibandingkan dengan 18,8% di tahun sebelumnya. Rasio kredit bermasalah (non-performing loan) terjaga sebesar 2,2%. Hal tersebut tidak lepas dari upaya pemerintah dan otoritas dalam mengendalikan pandemi sebagai upaya menuju pemulihan perekonomian nasional, serta kebijakan relaksasi restrukturisasi dari otoritas,” ujarnya.
Sejalan dengan peningkatan kualitas aset, biaya provisi tercatat menurun 19,6% dibandingkan tahun sebelumnya. Ke depan, BCA berharap bahwa geliat perekonomian di Indonesia akan terus bangkit. Hal tersebut seiring dengan pemulihan ekonomi yang mulai berjalan disertai dengan penerapan protokol kesehatan dan berbagai kebijakan strategis dari regulator dan otoritas perbankan.
“BCA tetap akan melakukan pencadangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, sebagai langkah antisipasi kualitas kredit ke depannya sejalan dengan pemulihan ekonomi. BCA juga berkomitmen senantiasa mengedepankan prinsip kehati-hatian dalam penyaluran kredit,” jelasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News