Reporter: Selvi Mayasari | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Outstanding pembiayaan fintech P2P lending sampai dengan Agustus 2021 tumbuh 70,36% secara tahunan (year on year/yoy) menjadi sebesar Rp 26,10 triliun.
Mengacu data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), TKB 90 fintech lending masih terjaga di level moderat yakni sebesar 98,23% atau pinjaman macet tercatat sebesar 1,77% per Agustus 2021.
Kepala Departemen Pengawasan Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) 2B OJK Bambang W Budiawan mengatakan, pembiayaan yang terus naik menunjukkan kebutuhan pendanaan masih sangat tinggi dan bukti bahwa industri P2P lending diterima dengan baik.
"Penyelenggara P2P lending mampu memberikan manfaat kepada UMKM dan publik. Banyak transaksi berulang yang berarti pengguna telah mendapatkan manfaat dan percaya pada industri P2P lending. Kenaikan pembiayaan mengindikasikan pemulihan ekonomi," jelas Bambang kepada kontan.co.id, Senin (4/10).
Menurut Bambang, jika kondisi Covid-19 terus membaik, pihaknya optimis outstanding terus tumbuh hingga akhir tahun. "Harapan kami outstanding di akhir tahun bisa mencapai sekitar Rp 30 triliun," sambung Bambang.
Realisasi kinerja positif tetap dicatatkan fintech lending meskipun jumlah penyelenggara fintech lending terus berkurang. Per Desember 2020 tercatat ada lebih dari 160 penyelenggara, berkurang drastis hingga menjadi 107 penyelenggara pada 8 September 2021.
Baca Juga: Gandeng fintech, perbankan agresif salurkan kredit digital
Bambang menjelaskan, ada beberapa hal kenapa pemain berkurang. Pertama, bisnis mereka kurang berkembang. Model bisnis yang ditawarkan tak mampu mendapatkan minat/ antusiasme pengguna (pemberi dan penerima pinjaman). Akibatnya, pendapatannya kecil/rendah dan tak mampu menopang biaya.
"Kedua, sistem elektronik kurang andal sehingga tak mampu melakukan proses underwriting secara andal. Sistemnya tak mampu menghasilkan scoring yang mampu melakukan profiling yg lebih akurat. Kekuatan P2P lending adalah teknologi informasi (TI) karena keseluruhan proses lebih banyak bertumpu pada TI, khususnya pada artificial intelligence (AI) dan big data. Bisnis P2P lending membutuhkan komitmen utk investasi pada IT," jelasnya.
Ketiga, kata Bambang, persoalan permodalan. Banyak penyelenggara bermodal kecil. Tak lagi mampu beroperasi karena kehabisan modal.
Dalam tiga tahun operasi, mayoritas penyelenggara belum mampu menghasilkan laba, sementara modalnya terus tergerus.
Persyaratan modal disetor minimum Rp 2,5 miliar dalam Peraturan OJK No. 77/2016 memang terlalu kecil. Banyak yang modal disetor di atas Rp 2,5 miliar pun tapi tidak bisa bertahan.
"Kami sedang menyiapkan peraturan baru, salah satu isinya adalah peningkatan modal disetor agar mencukupi utk bisa bertahan di fase awal sebelum mampu menghasilkan laba," tambah Bambang.
Keempat, penyelenggara tak mampu memenuhi persyaratan perizinan yg telah ditetapkan OJK.
Tren ke depan, setelah OJK mencabut moratorium, akan ada yang mengajukan perizinan sehingga jumlah pemain kemungkinan akan bertambah.
PT Akseleran Keuangan Inklusif Indonesia menyatakan, secara kumulatif, sudah menyalurkan total pinjaman usaha sebesar Rp 3,1 triliun lebih sampai dengan awal Oktober 2021 kepada lebih dari 2.500 peminjam yang merupakan para pelaku usaha atau UMKM di Indonesia.