Reporter: Adrianus Octaviano | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Di tengah perbaikan bisnis industri asuransi seiring dengan pemulihan ekonomi akibat pandemi covid-19, pembenahan perlu dilakukan khususnya industri asuransi jiwa di tahun depan. Hal ini mengingat banyak kasus terjadi di industri ini beberapa waktu belakangan.
Memang, Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) mencatat sudah ada pertumbuhan pendapatan premi di kuartal III lalu menjadi Rp 149,36 triliun. Capaian tersebut sudah tumbuh dari kuartal III-2019 yang merupakan masa pra pandemi sebanyak 2%.
Meskipun tumbuh, pertumbuhannya masih relatif kecil. Oleh karenanya, masih ada tugas besar yang perlu dilakukan di industri ini untuk melakukan pembenahan besar-besaran mengingat kepercayaan masyarakat pada industri ini bisa terpengaruh dari beberapa kasus yang ada.
Pengamat Asuransi Irvan Rahardjo menyebut tantangan industri asuransi di tahun depan adalah mengembalikan kepercayaan masyarakat yang hilang akibat kasus-kasus gagal bayar dan tata kelola buruk beberapa asuransi besar yang belum terselesaikan hingga sekarang, seperti Jiwasraya, Bumiputera, Wanaartha Life, Kresna Life dan ASABRI.
“Solusinya harus dilakukan segera mengembalikan hak-hak pemegang polis yg belum terselesaikan hingga sekarang,” ujar Irvan kepada KONTAN, Senin (27/12).
Irvan pun menyebutkan bahwa regulator perlu membenahi beberapa regulasi terutama terkait dengan perlindungan konsumen dan market conduct khusus keagenan asuransi yang selama ini marak dengan praktik missselling dan mispricing.
Adapun, praktik tersebut erat kaitannya dengan penjualan produk asuransi yang diinvestasikan (PAYDI) atau juga dikenal dengan unitlink. Oleh karenanya, ia berpendapat perusahaan asuransi harus lebih transparan dalam menjual produk dan menyesuaikan target penjualan dengan profil keuangan nasabah.
Sependapat, analis asuransi Toto Pranoto pun juga bilang pengaturan unitlink harus diperkuat untuk menghindarkan nasabah dari kasus seperti Jiwasraya. Toto bilang pengawasan regulator perlu lebih keras dilakukan pada beberapa perusahaan asuransi.
“Pengawasan yang lebih keras dan komprehensif mengingat masih adanya perusahaan asuransi yang tidak menerapkan prinsip tata kelola secara baik,” imbuh Toto.
Dari sisi OJK sendiri, sebelumnya Kepala Departemen Pengawasan Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) 2A, OJK Ahmad Nasrullah mengatakan bahwa pihaknya sedang menyiapkan beberapa regulasi untuk industri ini.
Pertama, disebutkan akan ada revisi atas POJK 70/2016 yang mengatur mengenai Insurance Technology (insurtech). Hal tersebut dilakukan untuk memberikan kejelasan terkait bisnis ini mengingat belum ada aturan khusus yang membawahinya.
Selanjutnya,OJK juga sedang melakukan proses revisi atau penyempurnaan mengingat aturan yang ada sudah berumur 15 tahun. Ahmad bilang pihaknya sudah bicara dengan asosiasi kira-kira potensi-potensi perbaikannya akan seperti apa.
“Ini sudah dalam tahap akhir, mudah-mudahan dalam waktu dekat ini bisa kita keluarkan aturannya,” ujar Ahmad
Urgensi Terbentuknya Lembaga Penjamin Polis
Salah satu hal yang juga cukup urgent diperlukan untuk industri asuransi saat ini ialah terbentuknya Lembaga Penjamin Polis (LPP). Mengingat, pembentukan lembaga tersebut sudah diamanatkan oleh UU no 40 tahun 2014.
Irvan menilai pembentukan lembaga ini banyak terjadi tarik ulur yang terjadi. Bukan tanpa alasan, ia berpendapat besarnya biaya pendirian awal lembaga ini menjadi salah satu alasan lembaga ini tak kunjung dibuat.
“Terjadi tarik ulur siapa yang harus membiayai karena pelaku industri sudah dibebani iuran OJK,” ujar Irvan.
Namun, Irvan juga menilai ada kekhawatiran jika nantinya lembaga ini bisa terbentuk. Menurutnya, bisa saja lembaga ini justru menimbulkan kesembronoan perusahaan asuransi dalam menjalankan bisnisnya karena merasa sudah ada lembaga yang melindungi.
Sementara itu, kehadiran LPP ini juga dinantikan oleh pelaku industri seperti BNI Life. Direktur Keuangan BNI Life Eben Eser Nainggolan bilang LPP diperlukan sebagai upaya untuk melindungi nasabah dengan fungsi yang sama dengan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) di perbankan.
“Harapan kami lembaga ini dapat menjadikan industri perasuransian berjalan dengan sehat dan memberikan kepercayaan kepada masyarakat terhadap asuransi sehingga mendorong minat masyarakat untuk membeli asuransi,” ujar Eben.
Sekadar informasi, di tahun mendatang Eben menargetkan pendapatan premi BNI Life sebesar Rp 5,1 triliun atau tumbuh sebesar 17% dari target premi tahun 2021. Ia bilang bahwa pihaknya akan tetap fokus dalam penjualan produk unit link dan produk premi reguler yang profitable.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News