Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Penempatan dana masyarakat pada berbagai produk simpanan di perbankan maupun produk layanan investasi dari jasa keuangan, terus menunjukkan perlambatan menuju akhir tahun 2023.
Perlambatan yang sangat jelas terjadi pada produk simpanan masyarakat di perbankan. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat sepanjang tahun 2023 yakni Januari sampai September, pertumbuhan simpanan perbankan telah menyusut tiap bulannya, dari Januari yang tumbuh sebesar 8,3% YoY, menjadi hanya tumbuh 6,54% YoY per September.
Selama sembilan bulan pertama 2023 tersebut, pertumbuhan paling lambat terjadi pada bulan Juni, yakni hanya tumbuh 5,79% YoY.
Sementara Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mencatat selama 5 tahun terakhir sejak 2019-2023, simpanan perbankan pada tahun ini menjadi yang paling rendah pertumbuhannya, yakni hanya tumbuh 3,4% YoY secara nominal simpanan, dan hanya tumbuh 8,3% YoY secara jumlah rekening.
Baca Juga: Hingga Awal Desember 2023, Dana Kelolaan Wealth Management BRI Tembus Rp 205 Triliun
Bukan hanya simpanan di bank yang menurun, penempatan dana di instrumen investasi seperti reksadana juga ikut terkoreksi. Menurut data KSEI, kelolaan reksadana menunjukkan tren yang menurun selama dua tahun terakhir.
Per November 2023 tercatat hanya Rp 779,79 triliun, jumlah ini turun 2,2% secara ytd. Sementara pada tahun 2022 lalu, kelolaan reksadana juga tercatat menurun sebesar 1,22% ytd dari tahun sebelumnya.
Adapun oustanding obligasi pemerintah per Oktober 2023 tercatat sebesar Rp 5.517,7 triliun, naik dari 2022 yang sebesar Rp 5.309,9 triliun dan Rp 4.521.9 triliun pada 2021.
Sedangkan nilai pasar saham yang diperdagangkan juga terpantau menurun dari Rp 3.617,8 triliun pada 2022, menjadi Rp 2.171,3 triliun per November 2023.
Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede membenarkan adanya perlambatan DPK di perbankan tahun ini yang utamanya terjadi karena penyusutan simpanan kalangan masyarakat ke bawah dengan nominal simpanan Rp 0 sampai Rp 100 juta.
Ffaktornya tidak lain karena tergerusnya pendapatan masyarakat akibat meningkatnya inflasi secara umum serta masa pandemi. Alhasil timbullah istilah makan tabungan.
Maklum saja, kebanyakan masyarakat Indonesia memanglah berpenghasilan pas-pasan atau marginal yaitu dengan pendapatan upah di bawah Rp 15 juta per bulan, sehingga yang punya saldo bank di atas Rp 100 juta juga tidak banyak secara persentase.
Josua juga menyebut, hal ini terefleksi dari rata-rata pertumbuhan tabungan selama 2016-2019 yang mencapai 7,81%. Sementara rata-rata pertumbuhan tabungan pada saat pandemi (2020-2021) mencapai 5,87%, dan pasca meningkatnya inflasi pada 2021-2023, rata-rata pertumbuhan tabungan tercatat hanya 3,37%.
Selain itu masyarakat dengan tabungan Rp0 sampai Rp100 juta pada umumnya cenderung lebih rentan terkena dampak dari inflasi. "Sehingga disposable income dari golongan tersebut cenderung mengalami perlambatan," kata Josua kepada Kontan, Selasa (19/12).
Meski begitu, Josua memperkirakan jumlah masyarakat yang menempatkan dananya di produk simpanan bank pada tahun ini masih lebih tinggi dibandingkan dengan penempatan di reksadana. Sebab, memang pada kenyataannya mayoritas masyarakat lebih mengenal dan memahami produk tabungan bank ketimbang reksa dana dan instrumen investasi lainnya.
Namun hal tersebut tidak menutup kemungkinan potensi penempatan dana di reksadana masih akan terus tumbuh seiring dengan literasi keuangan yang terus meningkat.
"Kami perkirakan aset-aset finansial lainnya juga berpotensi ikut tumbuh secara solid," kata dia.
Baca Juga: Nasabah Tajir Tahan Dana di Instrumen Investasi, Ini Penyebabnya
Senada, pengamat perbankan SVP Research LPPI Trioksa Siahaan juga bilang kalau saat ini masyaakat juga lebih selektif dalam memilih instrumen investasi yang memberikan imbal hasil tinggi, meskipun memang untuk segmen unitlink tidak akan semenarik reksa dana.
"Dengan berbagai kejadian yang menerpa industri asuransi kemungkinan utk unitlink peningkatannya tidak seperti di reksadana," kata dia kepada Kontan.
Pengamat Pasar Modal dan Guru Besar Ekonomi Universitas Indonesia, Budi Frensidy mengatakan dana kelolaan atau AUM reksadana yang bukan produk discretionary fund, atau investasi yang dikelola Manajer Investasi dengan kontrak pengelolaan dana (KPD) sulit menembus kelolaan dana Rp 400 triliun dan tetap di kisaran Rp 300 triliunan saja. Dan kelolaan dana tersebut juga kebanyakan milik institusi atau korporasi.
Sementara itu para bankir juga membenarkan, meski pertumbuhan DPK melambat pada tahun ini, namun jumlah penempatan dana masyakarat di produk DPK bank masih lebih tinggi dibandingkan penempatan instrumen investasi lainnya.
Direktur Distribution & Funding Bank BTN Jasmin mengatakan, dilihat dari besarannya, penempatan dana nasabah melalui DPK khususnya deposito masih lebih tinggi, terlebih dengan bunga di akhir tahun yang lebih menarik dari reksadana.
“Selama ini masih banyak di DPK khususnya deposito, yang bunganya di akhir tahun lebih menarik dari reksadana,” kata Jasmin kepada Kontan, Selasa (19/12).
Jasmin merinci penempatan dana nasabah pada produk non-banking seperti reksadana, SBN, obligasi, dan lain-lain di BTN porsinya masih lebih kecil, yakni sekitar 27% sampai 30% dari total Asset Under management (AUM) di prioritas saat ini, atau nilainya masih ada di kisaran Rp 47 triliun.
Beda halnya dengan total DPK BTN yang tembus Rp 323,9 triliun, atau naik 3,54% YoY. Adapun kontribusi dana murah yang berasal dari tabungan dan giro besarannya mencapai 49,48%.
Baca Juga: Dua Bank Digital Ini Optimistis Kinerja Akan Tumbuh Lebih Baik di Tahun Depan
Di bank lain seperti BNI dan BRI, juga diketahui penempatan dana di DPK lebih besar porsinya dibandingkan dengan instrumen investasi lainnya. Hal ini terlihat dari dana kelolaan wealth management bank.
Direktur Bisnis Konsumer BRI Handayani mengatakan, posisi AUM Wealth Management BRI hingga 11 Desember 2023 sekitar Rp205 triliun, dengan komposisi portofolio nasabah masih didominasi oleh DPK, kemudian diikuti oleh obligasi, saham, dan reksadana.
Begitu juga dengan General Manager Divisi Wealth Management BNI Henny Eugenia mengatakan, menjelang akhir tahun, aliran dana di segmen wealth management lebih banyak masuk ke produk funding. Alhasil ini berdanpak pada komposisi dana pihak ketiga (DPK) BNI meningkat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News