kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pengamat: Manajemen risiko BSM patut dipertanyakan


Minggu, 27 Oktober 2013 / 18:40 WIB
Pengamat: Manajemen risiko BSM patut dipertanyakan
ILUSTRASI. Kode Redeem FF Hari Ini 20 Juni 2022: Hadiah Emote Gratis hingga Pet, Mau yang Mana?


Reporter: Dea Chadiza Syafina | Editor: Hendra Gunawan

JAKARTA. Bank Syariah Mandiri (BSM) mengalami tindak penipuan atau fraud berupa penyaluran kredit properti fiktif yang dilakukan oleh tiga pejabat kantor cabang Bogor. Penyimpangan pemberian fasilitas pembiayaan terhadap 197 nasabah secara fiktif dengan total dana mencapai Rp 102 miliar ini, memiliki potensi kerugian Rp 59 miliar.

Pengamat perbankan Mochammad Doddy Ariefianto mengungkapkan, pihaknya menyayangkan kasus ini terjadi pada bank dengan level setingkat BSM. Sebab, menurutnya, tindak kejahatan perbankan berupa penyimbangan pembiayaan fasilitas kredit fiktif terbilang kasus klasik di industri perbankan.

Seharusnya, kata Doddy, kasus kredit fiktif ini tidak perlu terjadi, jika sistem peringatan dini (early warning system) dan juga sistem peniup peluit (whistle blower system) pada industri perbankan dapat bekerja dengan baik. Menurutnya, pengelolaan sistem manajemen risiko atau risk management pada BSM patut dipertanyakan.

"Modus kejahatan ini adalah modus kejahatan klasik yang dilakukan oleh pejabat bank. Cukup disesalkan terjadi. Karena modus menggarong bank dengan cara ini sudah dari dulu dikenal. Kantor pusat sudah seharusnya melakukan pengecekan terhadap kantor cabang minimal dua kali dalam setahun. Sistem whistle blower juga tidak jalan, mungkin karena takut kepada pimpinan," ujar Doddy saat dihubungi KONTAN, Minggu (27/10).

Doddy menyebutkan, kemungkinan atau probabilitas suatu kredit secara fiktif bisa dimitigasi, jika perbankan menjalankan fungsi operational risk, regular risk dan juga risk management system dengan baik. Ia menjelaskan, saat ini kucuran kredit sudah lebih ketat, dimana seorang kepala cabang suatu bank, tidak bisa serta merta menyetujui pengajuan suatu pembiayaan.

Menurut Doddy, saat ini, selain kepala cabang ada lapisan kedua berupa relationship management dan juga risk management yang harus meneliti bisnis peminjam kredit alias debitur. Cek dan ricek harus dilakukan secara berlapis. Selain itu, terdapat lapisan selanjutnya berupa kredit risk, yang menelusuri secara diam-diam mengenai bisnis dan latar belakang debitur.

"Jadi saat ini pengajuan kredit tidak lagi hanya disetujui oleh kepala cabang saja, tetapi harus disetujui oleh four eyes principal (prinsip empat mata)," ujar Doddy.

Selain itu, kata Doddy, masih ada lapisan lain yang bernama kredit dokumentasi. Setiap debitur yang mengajukan kredit, pasti memberikan kolateral atau aset yang dijadikan agunan atau jaminan, yang dapat berupa sertifikasi tanah, kendaraan beroda empat atau sertifikat berharga lainnya. Nah, kata Doddy, bank seharusnya dapat melakukan penelusuran melalui dokumen-dokumen berharga ini dan mengetahui calon debiturnya dengan baik.

Lebih lanjut Doddy menambahkan, bank juga seharusnya dapat mewaspadai peningkatan permintaan kredit yang tinggi di suatu cabang. Terlebih jika kredit tersebut atas nama debitur baru. Menurutnya, perbankan seharusnya tidak terlena dalam euforia peningkatan permintaan kredit.

"Jika permintaan penyaluran kredit di suatu kantor cabang mendadak gendut dalam waktu singkat seperti dalam satu tahun, maka hal itu perlu ditelusuri oleh manajemen risiko. Perlu diendus. Harus ada manajemen risiko dari kantor pusat yang turun langsung ke kantor cabang tersebut," jelas Doddy.

Menurut Doddy, sudah sepatutnya BSM melakukan koreksi atas sistem penyaluran kredit yang dilakukannya. BSM seharusnya dapat menerapkan sistem penyaluran kredit seperti yang dilakukan oleh induk perusahaan, PT Bank Mandiri Tbk.

"BSM harus koreksi diri. Risk manajemen hirarki-nya kpd pusat (Bank Mandiri), bukan kepada kepala cabang. Sistem deteksi bisa mengadopsi dari induk perusahaan. Ini harusnya jadi pelajaran bagi bank-bank lain. Jangan hanya mengejar target dan euforia terhadap tingginya peningkatan permintana kredit. Harusnya manajemen risiko BSM bisa bertindak lebih waspada," ucap Doddy.

Catatan saja, pihak kepolisian menetapkan tiga orang tersangka kasus pembobolan dana kredit di Bank Syariah Mandiri (BSM) Bogor. Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Ronny Franky Sompie bilang, tiga orang yang ditetapkan sebagai tersangka pembobolan uang BSM lewat kredit fiktif tersebut adalah Kepala Cabang Utama Bank Syariah Mandiri Bogor M. Agustinus Masrie, Kepala Cabang Pembantu Bank Syariah Mandiri Bogor Chaerulli Hermawan, dan Accaounting Officer Bank Syariah Mandiri Bogor John Lopulisa.

Menurut Franky, data sementara menyebutkan terjadi penyimpangan pemberian fasilitas pembiayaan terhadap 197 nasabah secara fiktif dengan total dana mencapai Rp 102 miliar, dengan potensi kerugian Rp 59 miliar.

Penyelidikan atas kasus pembobolan ini terus dikembangkan. Polisi mensinyalir masih ada pihak-pihak lain yang terlibat dalam kasus tersebut. Salah satunya adalah keterlibatan seorang debitur dalam persekongkolan tersebut.

Tiga tersangka yang sudah diringkus diterapkan pasal 63 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah serta pasal 3 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×