kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.539.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.740   20,00   0,13%
  • IDX 7.492   12,43   0,17%
  • KOMPAS100 1.159   4,94   0,43%
  • LQ45 920   6,72   0,74%
  • ISSI 226   -0,39   -0,17%
  • IDX30 475   4,06   0,86%
  • IDXHIDIV20 573   5,12   0,90%
  • IDX80 133   0,95   0,72%
  • IDXV30 141   1,37   0,98%
  • IDXQ30 158   1,02   0,65%

Pengamat memprediksi BI mempertahankan bunga


Senin, 07 April 2014 / 10:06 WIB
Pengamat memprediksi BI mempertahankan bunga
ILUSTRASI. Cara menyembunyikan aplikasi di Android.


Reporter: Margareta Engge Kharismawati | Editor: Sanny Cicilia

JAKARTA. Dewan Gubernur Bank Indonesia akan kembali menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulanan pada Selasa (8/4) esok. RDG akan mencermati berbagai perkembangan terkini perekonomian dalam negeri dan global untuk menentukan arah kebijakan moneter Indonesia.

Beberapa ekonom yang dihubungi KONTAN akhir pekan lalu sepakat menyimpulkan, tampaknya, bank sentral belum akan mengubah kebijakan moneternya. Suku bunga acuan atau BI rate mereka prediksi tetap level 7,5%.

Ekonom Samuel Asset Manajemen Lana Soelistianingsih menduga, ada dua kondisi yang jadi pertimbangan BI. Pertama, perekonomian Indonesia masih stabil. Kalau suku bunga naik bisa menurunkan kepercayaan pasar.

Kedua, tingkat konsumsi yang tinggi. Pertanyaannya, kalau BI menurunkan bunga, apakah ekonomi Indonesia sudah aman? Ada risiko konsumsi masyarakat yang berlebihan jika BI rate turun.

Hal ini terlihat indikator data konsumsi bahan bakar minyak (BBM). Data Pertamina menunjukkan, per Februari 2014, konsumsi BBM mencapai 7,3 juta kiloliter atau 15% dari kuota sebesar 48,6 juta kiloliter. Adanya hari raya Lebaran akan membuat kuota BBM terus membengkak. "Jadi, belum ada alasan BI mengubah kebijakan suku bunga," ujar Lana.

Tidak hanya soal konsumsi yang masih tinggi. Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual melihat, current account deficit (CAD) atawa defisit transaksi berjalan masih membutuhkan perhatian utama. Sebab, salah satu pemicu neraca dagang Februari surplus US$ 785,3 juta adalah harga minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) yang meningkat.

Nah, mulai Maret, harga CPO mulai menyusut, sehingga berpotensi mendorong defisit dagang. Di sisi lain, pada triwulan II, terjadi repatriasi dividen yang besar. Berkaca pada 2013 lalu, repatriasi dividen dalam jumlah besar membuat defisit transaksi berjalan pada triwulan II tahun lalu mencapai 4,4% dari PDB.

Apalagi penguatan nilai tukar rupiah akhir-akhir ini akan membuat perusahaan berlomba-lomba untuk impor bahan baku. "Masih relatif berbahaya," tandasnya.
Di sisi lain, perekonomian global juga menjadi perhatian. Kepala Ekonom BII Juniman menjelaskan, pertumbuhan ekonomi global masih melambat. Buktinya adalah perlambatan ekonomi di China dan stagnasi ekonomi di Amerika Serikat (AS).

Kebijakan Bank Sentral AS The Federal Reserve (The Fed) yang akan menaikkan suku bunganya pun memiliki potensi risiko. Juniman melihat, sejatinya ada ruang penurunan suku bunga pada Juli karena perkiraannya inflasi tahunan bisa menembus 5%. Namun, mengingat The Fed berencana mengerek bunga, akan lebih bijaksana BI mempertahankan suku bunganya.

Sedangkan ekonom Aviliani melihat, persoalan ke depan adalah likuiditas dunia. Apabila suku bunga acuan The Fed naik, Indonesia harus berupaya mempertahankan daya tarik rupiah agar investor asing tidak kabur. Indonesia harus bersiap agar krisis tahun 2008 tidak terulang.

Dana asing berpotensi lari ke Amerika saat The Fed mengerek bunga. Salah satu cara agar dana asing tidak keluar adalah menjaga bunga tinggi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×