Reporter: Ahmad Febrian | Editor: Ahmad Febrian
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penolakan terhadap Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT) terus menggema.
Dalam platform petisi online Change.org semakin banyak yang meneken penolakan tersebut. Pada hari Minggu (13/2) pukul 15.06 WIB hampir 300.000 warganet menolak peraturan yang diteken Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah tersebut. Tepatnya sudah 285.303 tanda tangan online menolak Permenaker.
Biang kerok penolakan warganet adalah Pada Pasal 3, tertulis manfaat JHT akan diberikan kepada peserta BPJS Ketenagakerjaan (BP Jamsostek) berusia 56 tahun. "Manfaat JHT bagi Peserta yang mencapai usia pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a diberikan kepada peserta pada saat mencapai usia 56 tahun," tulis Permenaker terbaru tersebut.
Sebelumnya diberitakan, Deputi Direktur Bidang Hubungan Masyarakat dan Antar Lembaga BPJamsostek Dian Agung Senoaji membenarkan aturan terbaru yang diterbitkan Menaker tersebut. Karena ini sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 2004.
Bahwa program JHT bertujuan untuk menjamin peserta menerima uang tunai pada saat memasuki masa pensiun, mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia, sehingga pekerja memiliki tabungan ketika memasuki masa pensiun.
"Jika pekerja mengalami PHK, pemerintah telah menyiapkan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) dengan manfaat uang tunai, akses lowongan kerja dan pelatihan kerja," katanya.
Pemerintah berencana akan meluncurkan program terbaru JKP pada 22 Februari tahun ini. JKP ini merupakan program pelengkap yang ada di BPJS Ketenagakerjaan.
"Kami mengharapkan bapak presiden me-launching program JKP ini pada 22 Februari 2022. Kami ambil tanggal yang cantik 22 Februari 2022," kata Menaker Ida Fauziyah saat Rapat Kerja dengan Komisi IX DPR RI, Senin (24/1).
Presiden Joko Widodo atau Jokowi telah meneken Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 37 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan. PP ini merupakan aturan turunan dari UU Cipta Kerja.
Yang jadi masalah, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menegaskan, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) yang menjadi induk PP itu cacat secara formil. Mengutip situs resmi MK, Mahkamah menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusionalitas bersyarat.
“Menyatakan pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘tidak dilakukan perbaikan dalam waktu dua tahun sejak putusan ini diucapkan'. Menyatakan UU Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini,” ucap Ketua MK Anwar Usman, yang didampingi oleh delapan hakim konstitusi lain.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News