Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Permintaan kebutuhan pembiayaan/kredit dari korporasi kepada industri perbankan tidak sekencang upaya mereka dalam menghimpun dana segar di pasar modal.
Hal tersebut dapat dilihat dari data laporan Bank Indonesia terkait perkembangan kredit segmen korporasi per Juni 2023 yang meningkat 6,4% yoy dengan nilai kredit sebesar Rp 3.402,8 triliun. Jumlah ini tumbuh melambat dibandingkan pada Mei lalu sebesar 9,0% yoy.
Dibandingkan dengan data pipeline terbaru yang dilaporkan Bursa Efek Indonesia (BEI), sampai dengan 4 August 2023 telah tercatat 53 Perusahaan yang mencatatkan saham di BEI dengan total dana dihimpun Rp 47,9 triliun. Hingga saat ini, terdapat 38 perusahaan dalam pipeline pencatatan saham BEI.
Baca Juga: Margin Bunga Bersih (NIM) Perbankan Diproyeksikan Kian Mekar Hingga Akhir Tahun 2023
Kemudian untuk dari Right Issue per tanggal 4 August 2023 telah terdapat 26 perusahaan tercatat yang telah menerbitkan right issue dengan total nilai Rp 36,1 Triliun. Serta masih terdapat 24 perusahaan tercatat dalam pipeline right issue BEI.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga melaporkan total penghimpunan dana di pasar modal hingga 31 Juli sebesar Rp 162,09 triliun, dengan emiten baru tercatat sebanyak 57 emiten.
Nilai emisi emiten IPO tersebut lebih tinggi dibandingkan pencapaian sepanjang tahun 2022, bahkan menjadi yang terbesar di Asia Tenggara dan ke-4 global pada semester I 2023.
Adapun di pipeline, masih terdapat 101 rencana penawaran umum dengan perkiraan nilai sebesar Rp 72,85 triliun dan rencana IPO baru sebanyak 66 perusahaan.
Baca Juga: Kredit Perbankan Diprediksi Menguat pada Semester II 2023
Pengamat ekonomi dan pasar modal Budi Frensidy menyampaikan korporasi punya kesempatan untuk mengakses pendanaan ke pasar modal dengan menerbitkan saham via IPO ataupun rights issue.
"Ini lebih menarik mendapatkan dana dari pasar modal saat bunga pinjaman tinggi," katanya kepada Kontan, Senin (7/8).
Lebih lanjut Budi menjelaskan, perbankan masih sulit untuk menurunkan suku bunga kreditnya. Bahkan perbankan dalam negeri dikenal sebagai negara dengan net interest margin (NIM) terbesar di dunia.
"Ini tentunya tidak disukai savers dan juga debitur, karena bank mengambil keuntungan sangat besar dari kredit tersebut," terang Budi.
SVP Research of Head LPPI Trioksa Siahaan menyampaikan alasan lebih banyak perusahaan yang melakukan IPO hingga right kasur disebabkan perolehan dana yang lebih murah dibandingkan dengan mengajukan kredit ke perbankan.
Hal ini juga mengingat kredit ke perbankan tentunya memiliki banyak pertimbangan, selain pergerakan suku bunga yang tinggi, kredit bank juga memiliki waktu yang disesuaikan dengan jatuh tempo pelunasannya.
Di sisi lain, belum ada sinyal dari sejumlah bank tanah air terkait rencana menurunkan suku bunga mereka. Hal ini kata Trioksa kebijakan bank dalam menurunkan suku bunga perlu memperhatikan tingkat biaya dana bank.
Baca Juga: Investor Asing Rajin Masuk ke Bank di Indonesia, Bagaimana Kinerjanya?
“Bila dananya lebih murah, maka bunga kredit juga dapat lebih murah,” katanya kepada Kontan, Senin (7/8).
Bank BRI misalnya, yang menetapkan suku bunga kredit untuk segmen korporasi berkisar antara 10% hingga 11,5%.
Nampaknya dari suku bunga kredit yang tinggi tersebut, BRI belum akan menurunkan suku bunga kredit untuk segmen kredit korporasi di paruh kedua tahun ini.
“BRI secara periodik melakukan review suku bunga secara berkala, tetapi menang segmen korporasi ini bukan Core Business BRI, hanya pertumbuhannya kita jaga tapi tidak akan setinggi ke segmen UMKM,” kata Agustya Hendy Bernadi, Corporate Secretary BRI kepada Kontan, Senin (7/8).
Sementara itu Direktur Utama Bank bjb Yuddy Renaldy menyampaikan alasan bank masih belum menurunkan suku bunga kredit untuk segmen korporasi adalah karena mengikuti pasar, dimana penerapannya mengikuti suku bunga acuan yang ditetapkan dengan margin dan premi risiko tertentu yang juga dilihat dari sektor usahanya.
“Memang pertumbuhan kredit segmen korporasi ini tidak seagresif tahun lalu, penyebabnya bank perlu mencari keseimbangan yang ideal untuk pertumbuhan masing-masing segmen agar margin yang diperoleh tetap terjaga baik saat cost of fund masih tinggi," kata Yuddy kepada Kontan, Senin (7/8).
Bank bjb sendiri menetapkan suku bunga kredit segmen kredit korporasi sebelum perhitungan premi risiko yaitu di level 6,87%. Di semester I 2023, Bank bjb mencatatkan pertumbuhan kredit segmen korporasi 14,5% yoy.
Baca Juga: OJK Pastikan Merger Bank Nobu dan MNC Bank Bakal Tetap Terjadi
Di sisi lain Presiden Direktur BCA Syariah Yuli Melati Suryaningrum menyampaikan untuk kredit di segmen korporasi, perusahaan-perusahaan tersebut tentu masih butuh dana, namun banyak pertimbangan yang dilihat saat ingin masuk ke kredit perbankan.
"Tapi begitu masuk perbankan mereka masih wait and see, karena kan memang selisih Fed Rate masih tipis banget, dunia usaha masih mikir itu kalau mau masuk ke perbankan," kata Yuli kepada Kontan, Senin (7/8).
Agar dapat agresif dalam, Yuli menyampaikan pertimbangan perusahaan untuk masuk ke pembiayaan perbankan, mereka tentunya memilih bunga kredit atau margin bagi hasil yang sangat rendah. Sehingga bank jika ingin kredit lari kencang lagi, tentu harus menurunkan suku bunga.
"Karena perusahaan itu sudah matok yang mau biayain mereka banyak di pasar modal, sehingga mereka masih mengukur untuk masuk ke pembiayaan bank, itu yang terjadi saat ini mengenai margin dan minat korporasi itu," jelas Yuli.
Baca Juga: Cuan Ekuitas Bank Masih Tumbuh
Lebih lanjut Yuli menyampaikan jika pertimbangan suku bunga/margin bagi hasil yang diinginkan korporasi bisa turun, maka harapan untuk pembiayaan kredit akan kuat kembali pun nantinya terwujud.
"Nanti september ini baru kelihatan ya bagaimana perkembangannya, dan satu lagi perkembangan pemilu jadi salah satu pertimbangan pelaku bisnis untuk mengajukan kredit, tapi untuk kredit consumer dan UMKM masih tumbuh baik," kata Yuli.
BCA Syariah melaporkan kinerja pembiayaan koporasinya tumbuh 13,3% yoy di Juni 2023 dengan nilai Rp 5,7 triliun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News