Reporter: Nina Dwiantika, Herry Prasetyo | Editor: A.Herry Prasetyo
JAKARTA. Alih-alih semakin kuat, pasca BI rate naik menjadi 7%, mata uang cap Garuda kian loyo dan terseok. Ya, berbagai kebijakan pemerintah dan Bank Indonesia (BI) tampaknya belum membikin rupiah bertaji.
Kurs tengah BI, Selasa (3/9), mencatat, nilai tukar rupiah terdampar di Rp 10.983 per dollar Amerika. Ini nilai tukar rupiah terlemah sepanjang tahun 2013.
Bak dokter, bank sentral terus meresepkan berbagai obat agar rupiah perkasa. Yang terbaru, BI merevisi aturan tentang pinjaman luar negeri bank melalui PBI Nomor 15/6/PBI/2013 yang diteken Gubernur BI Agus Martowardojo, Jumat (30/8) .
Beleid anyar ini menambah pengecualian pinjaman luar negeri jangka pendek bank. Menurut aturan ini, giro milik investor asing yang merupakan hasil divestasi tak lagi dianggap sebagai utang luar negeri jangka pendek bank.
Direktur Departemen Komunikasi BI, Peter Jacobs, mengatakan selama ini, hasil divestasi investor asing yang disimpan di bank dianggap sebagai utang luar negeri jangka pendek. Padahal, saldo harian pinjaman luar negeri bank terbatas, yakni cuma 30% dari modal bank.
Karena itu, bank bermodal kecil, khususnya bank asing dan bank campuran, biasanya tak menerima simpanan hasil divestasi itu. Bank biasanya menyarankan investor mengkonversikan duit mereka ke valuta asing untuk dibawa pulang ke luar negeri. Dengan begitu, permintaan valas meningkat.
Dengan pengecualian ini, investor asing tak perlu mengonversikan uang. Bahkan, hasil divestasi bisa disimpan di bank tanpa harus dianggap sebagai uang luar negeri jangka pendek bank. Harapannya, "Tekanan permintaan valas akan mengecil," ujar Peter.
Dampak tak jelas
Sayang, Peter tak bisa mengungkapkan seberapa besar dampak aturan ini terhadap pengurangan permintaan valas. Menurut Peter, konversi divestasi ke valas selama ini menjadi salah satu penyebab tekanan terhadap rupiah.
Namun, Kepala Ekonom Lembaga Penjamin Simpanan, Dody Arifianto, meragukan efektivitas kebijakan tersebut mampu meredam gejolak pelemahan nilai tukar rupiah. "Kita tidak tahu seberapa besar dampaknya," ujar Dody.
Masalah lain, investor asing saat ini enggan memegang instrumen investasi di emerging market. Karena itu, lebih sulit lagi menahan duit investor asing di simpanan perbankan. "SUN saja mereka lepas, apalagi deposito," kata Dody.
Ekonom Bank BNI, Tony Prasetiantono, menilai relaksasi aturan pinjaman luar negeri bank memang bisa memberi peluang menambah cadangan devisa. Sehingga, memberikan dampak positif terhadap otot rupiah. Namun, Tony mengingatkan, aturan ini akan menambah akumulasi utang luar negeri swasta, yang sudah mencapai di atas nilai US$ 134 miliar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News