kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.526.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.240   -40,00   -0,25%
  • IDX 7.037   -29,18   -0,41%
  • KOMPAS100 1.050   -5,14   -0,49%
  • LQ45 825   -5,35   -0,64%
  • ISSI 214   -0,85   -0,40%
  • IDX30 423   -1,15   -0,27%
  • IDXHIDIV20 514   0,87   0,17%
  • IDX80 120   -0,69   -0,57%
  • IDXV30 125   1,36   1,09%
  • IDXQ30 142   0,26   0,18%

PPN Multitarif Diatur Dalam Undang-Undang, Dorong Sistem Perpajakan Inklusif


Sabtu, 28 Desember 2024 / 22:12 WIB
PPN Multitarif Diatur Dalam Undang-Undang, Dorong Sistem Perpajakan Inklusif
ILUSTRASI. Kontan - Kementerian Keuangan Republik Indonesia Kilas Online


Reporter: Tim KONTAN | Editor: Ridwal Prima Gozal

KONTAN.CO.ID - Pemerintah akan menerapkan pajak pertambahan nilai (PPN) multitarif per 1 Januari 2025. Kebijakan ini diatur sesuai Pasal 9A dalam UU No. 7 Tahun 2021 atau yang dikenal sebagai Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Pada 16 Desember 2024 lalu, pemerintah mengumumkan penerapan dua tarif PPN yang berlaku efektif sejak awal tahun 2025. Pertama, tarif PPN 12% untuk barang tergolong mewah dan kedua, tarif PPN 11% untuk selain barang mewah seperti terigu, MinyaKita, dan gula industri. Adapun untuk barang dan jasa kebutuhan pokok diberikan tarif pajak 0%.

Melalui UU HPP, pemerintah dapat menciptakan sistem perpajakan yang inklusif dan lebih berkeadilan. PPN multitarif dikenakan berdasarkan kategori barang dan jasa yang berbeda sehingga menghasilkan distribusi penghasilan yang lebih adil. Di sisi lain, PPN multitarif juga memperluas basis pajak sehingga mampu menghasilkan penerimaan pajak yang lebih tinggi.

Mengutip laman Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan RI, pada tahun 2021 sebanyak 89 negara telah menerapkan skema PPN multitarif. Di antaranya Amerika Serikat, Jerman, Prancis, India, Jepang, Turki, Austria, Argentina, Brazil, Belgia, serta negara ASEAN seperti Malaysia dan Vietnam.

Wacana penerapan skema PPN multitarif di Indonesia sebenarnya juga sudah muncul sejak awal penyusunan UU HPP. Hal ini dikemukakan pengamat ekonomi dan perpajakan Yustinus Prastowo dalam acara “Wacana PPN 12%: Solusi Fiskal atau Beban Baru Bagi Masyarakat?” di Jakarta, Sabtu, 14 Desember 2024.

"Waktu itu mau multitarif, multirate mencontoh banyak negara maju agar fleksibel," ujar Yustinus.

Dalam kesempatan tersebut mantan staf khusus Menteri Keuangan Sri Mulyani ini memberikan sejumlah contoh yang mencerminkan ketidakadilan dengan penerapan PPN tarif tunggal.

“Ada dua anak, satunya miskin dia masuk sekolah bersubsidi, satunya sekolah di sekolah internasional, sama-sama bebas pajak. Ada dua ibu-ibu, yang satu ke puskesmas sakit asam urat, ditanggung BPJS. Satunya ibu-ibu sosialita, estetik, operasi macam-macam, sama-sama enggak kena pajak. Adil enggak? Enggak adil. Maka waktu itu, kita mau multitarif,” ungkapnya.

Mulai 1 Januari 2025, DJP akan mengoperasikan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (SIAP) atau core tax. SIAP mengintegrasikan 21 proses bisnis perpajakan, seperti pendaftaran, pembayaran, hingga pelaporan SPT tahunan. Jika core tax sudah diaplikasikan, Yustinus menyatakan pengintegrasian NIK dengan NPWP berperan penting untuk memastikan penerapan skema PPN multitarif yang berkeadilan.

“Kalau (pembayaran) sudah cashless, data akan terkumpul di kantor pajak. Orang normal belanja kenanya 11%. Kalau belanja sudah di atas 500 juta hingga 1 miliar per tahun, masuk tier kedua. Jadi harus dipotong 12% atau 15%, ini lebih adil. Pendekatannya dengan konsumsi, tapi ada leverage di penghasilan. Jadi teknologi bisa dipakai,” tandasnya.

Selanjutnya: Begini Penjelasan Ekonom PPN 12% Lebih Efektif Dibandingkan Kenaikan PPh

Menarik Dibaca: 4 Tanda Anda Duduk Terlalu Lama dan Akibatnya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×