Reporter: Dyah Megasari |
JAKARTA. Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) tersungkur ke posisi paling lemah dalam empat tahun terakhir. Hal ini akhirnya berimbas ke pasar surat utang negara (SUN).
Imbal hasil SUN dengan tenor 10 tahun melonjak ke level tertinggi sejak Maret 2011. Imbal hasil (yield) SUN yang jatuh tempo Mei 2023 naik dua basis poin menjadi 8,51%, level tertinggi sejak Maret 2011.
Pergerakan ini tepat sebelum The Federal Reserve menerbitkan risalah rapat Juli yang menjelaskan apakah bank sentral AS tersebut masih akan membeli aset yang beredar di pasar atau mengurangi eksposurnya.
Perry Warjiyo Deputi Gubernur BI di dalam negeri menyatakan, Bank Indonesia berkomitmen akan berada di pasar mata uang dan obligasi untuk menstabilkan rupiah. Menurutnya, mata uang Garuda berada di bawah tekanan current account defisit Asia dan prospek pengurangan stimulus Fed.
"Pasar masih menunggu kabar dari hasil rapat FOMC," ungkap Handy Yunianto, kepala riset fixed income Mandiri Sekuritas seperti dikutip Bloomberg.
Menurut perkiraannya, BI memang membiarkan rupiah melemah untuk mengurangi laju impor dan meningkatkan transaksi berjalan.
Nilai tukar rupiah turun 0,7% ke 10.755 per dollar AS pada 10:38 di Jakarta, level terendah sejak April 2009. Mata uang itu sempat menyentuh 10.758 sebelumnya, level terlemah sejak 30 April. Rupiah diperdagangkan dengan premi 5,4% di pasar NDF untuk pengantaran satu bulan ke depan. Nilai tersebut turun 2,4% menjadi 11.335 per dollar. Kontrak ini sempat menukik ke level terendah empat tahun di 11.355.
Volatilitas meningkat
Asosiasi bank di Singapura hari ini menetapkan kontrak derivatif rupiah berada di 10.902, terendah sejak 2009.
Indonesia melalui Citigroup Inc, Standard Chartered Plc dan Deutsche Bank AG mengawal pertemuan dengan investor sukuk dollar di Eropa dan Timur Tengah yang rencananya akan mulai dipromosikan pada 23 Agustus mendatang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News