Reporter: Tendi Mahadi | Editor: Rizki Caturini
JAKARTA. Mulai Juni 2017, PT Jasa Raharja menerapkan besaran santunan baru. Aturan ini tertuang dari PMK Nomor 15 dan Nomor 16 Tahun 2017 tentang santunan dan iuran wajib kecelakaan angkutan umum dan lalu lintas.
Pada aturan yang terbit pertengahan Februari 2017 itu, terdapat beberapa kenaikan santunan 100% dari aturan lama yakni PMK 36/2008. Peningkatan santunan tersebut untuk menyesuaikan tingkat kebutuhan hidup.
Contoh santunan untuk ahli waris korban kecelakaan meninggal dari Rp 25 juta menjadi Rp 50 juta. Batas maksimal santunan untuk cacat tetap meningkat dari Rp 25 juta menjadi Rp 50 juta. Sementara santunan maksimal untuk biaya perawatan luka-luka dari Rp 10 juta menjadi Rp 20 juta. Lalu, biaya pemakaman korban yang tak memiliki ahli waris menjadi Rp 4 juta dari saat ini Rp 2 juta.
Penyesuaian santunan ini, menurut Direktur Utama Jasa Raharja Budi Setyarso, akan berpengaruh pada kinerja di 2017. Dia memprediksi, laba Jasa Raharja akan turun.
Tahun lalu, Jasa Raharja mengantongi laba Rp 2,3 triliun. Pada tahun ini, Budi memperkirakan, hanya mengantongi Rp 1,7 triliunRp 1,8 triliun. Prediksi tersebut sudah dikerek dari proyeksi semula yakni Rp 1,2 triliun. Ini karena aturan kenaikan santunan baru berlaku Juni 2017.
Meski begitu, Jasa Raharja tak khawatir. Pasalnya, pemerintah sebagai pemegang saham mendorong untuk menonjolkan layanan. "Yang penting kecepatan dalam pelayanannya juga," kata Budi.
Selain itu, Jasa Raharja juga masih memiliki kekuatan finansial. Di antaranya, aset sebesar Rp 13 triliun dan dana cadangan Rp 4 triliun.
Jasa Raharja juga melihat proporsi jumlah penumpang dan yang mengalami kecelakaan cenderung menurun. Sementara, jumlah angkutan umum dan kendaraan dalam beberapa tahun ke belakangan meningkat signifikan.
Aturan baru tersebut juga mengubah mekanisme pengenaan denda keterlambatan sumbangan wajib dana kecelakaan lalu lintas jalan (SWDKLLJ). Iuran ini dikenakan bagi pemilik kendaraan bermotor tiap tahun saat mengurus STNK.
Sebelumnya, besaran denda dibebankan secara flat rate 100% dengan nilai maksimal Rp 100.000. Kini, nilai maksimal denda Rp 100.000, namun mekanismenya progresif. Keterlambatan di bawah 90 hari dikenakan denda 25%. Sementara antara 91180 hari besaran denda 50%, terlambat 181-270 hari 75% dan lebih lama dikenakan denda 100%.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News