kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45893,43   -4,59   -0.51%
  • EMAS1.333.000 0,53%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Stanchart mengaku tak pernah meneror nasabah


Jumat, 15 Agustus 2014 / 14:57 WIB
Stanchart mengaku tak pernah meneror nasabah
ILUSTRASI. FF Advance Server OB39 Maret 2023 Pendaftaran Telah Dibuka, ini Cara Daftar & Jadwal


Reporter: Adhitya Himawan | Editor: Hendra Gunawan

JAKARTA. Standard Chartered Bank Indonesia membantah menggunakan cara-cara kekerasan dan teror dalam menangani kredit macet yang dialami. Cara penagihan yang digunakan terhadap debitur melalui berbagai tahapan yang sesuai dengan prosedur dan aturan hukum.

Menurut Arno Kermaputra, Country Head Corporate Affair Standard Chartered Bank Indonesia, pihaknya belum bisa mengomentari putusan Mahkamah Agung (MA) yang menjatuhkan denda Rp 1 miliar bagi Standard Chartered Bank Indonesia.

“Saya belum bisa memberikan komentar. Karena putusan resmi dari MA belum kami terima,” kata Arno ketika dihubungi KONTAN, Jumat (15/8).

Namun Arno membantah tudingan bahwa Standard Chartered Bank Indonesia menggunakan debt collector untuk melakukan teror terhadap nasabah debitur yang pembayaran kreditnya bermasalah. Sebab mekanisme tahapan penagihan sudah diatur dalam prosedur yang jelas serta sesuai koridor hukum.

“Jadi kami tidak pernah menggunakan cara-cara teror dalam menangani kredit macet,” pungkas Arno.

Sebagaimana diketahui, MA menjatuhkan putusan denda Rp 1 miliar kepada Standard Chartered Bank Indonesia di 13 Oktober 2013. Putusan ini baru dipublikasikan di situs resmi MA pada 12 Agustus lalu. Perkara ini bermula dari gugatan nasabah Standard Chartered, Victoria Silvia Beltiny.

Warga Bekasi tersebut selalu lancar dalam membayar cicilan kredit yang dimulai sejak tahun 2004. Tapi karena kesulitan keuangan pada 2009, Victoria mengalami keterlambatan pembayaran.

Atas hal itu, Standard Chartered dituduh melakukan teror terhadap Victoria. Menggunakan jasa debt collector, Victoria menganggap telah terjadi intimidasi, pengancaman, teror terhadap dirinya. Tidak tahan dengan intimidasi dan teror tersebut, Victoria lalu mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel).

Pada 15 Juli 2010 PN Jaksel menjatuhkan hukuman kepada Standard Chartered untuk memberikan ganti rugi Rp 10 juta kepada Victoria. Tak puas, Victoria banding ke Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta menaikkan hukuman ganti rugi menjadi Rp 500 juta.

Atas hukuman itu Standard Chartered tidak terima dan mengajukan kasasi. Tapi bukannya dikabulkan permohonannya, MA malah menaikkan hukuman kepada bank asing asal Inggris tersebut menjadi dua kali lipat dari putusan sebelumnya menjadi Rp 1 miliar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×