kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Tahun ini NPF fintech diprediksikan sentuh 4%, kenapa?


Minggu, 05 Januari 2020 / 17:37 WIB
Tahun ini NPF fintech diprediksikan sentuh 4%, kenapa?
ILUSTRASI. ilustrasi keamanan fintech. AFPI prediksi tingkat rasio kredit macet atau non performing financing (NPF) tahun ini mencapai 4%. KONTAN/Muradi/1/06/2017


Reporter: Ahmad Ghifari | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) prediksi tingkat rasio kredit macet atau non performing financing (NPF) tahun ini mencapai 4%.

Kepala Bidang Kelembagaan dan Humas AFPI Tumbur Pardede mengatakan, angka tersebut terlihat dari NPF fintech yang terdaftar dan berizin di Otoritas Jasa Keaungan (OJK) Per November 2019 sebesar 3,51%. Angkat tersebut merupakan pencapaian terbesar di 2019.

Baca Juga: Punya fitur Paylater, pengguna Gopay naik 14 kali lipat

Tumbur juga menilai naik turun NPF merupakan hal yang wajar bahwa fintech lending aktif masuk membiayai sektor sektor UMKM yang unbankable dan underserved dengan durasi jangka pendek.

"NPF tinggi karena semakin banyak perusahaan fintech yang terdaftar di OJK, ekspansi bisnis fintech ke berbagai daerah, dibanding dengan bank terlihat pembiayaan di fintech ini berisiko sekali karena banyak borrower yang memasulkan data," kata Tumbur kepada Kontan.co.id, Minggu (5/1).

Sementara itu, total jumlah penyelenggara fintech terdaftar di OJK saat ini sebanyak 164 perusahaan. Dari jumlah tersebut, 25 perusahaan di antaranya telah dapatkan lisensi izin usaha.

Adapun penyelenggara fintech yang baru terdaftar di OJK menggunakan mesin alogaritma activist intelligence yang bagaimana berdasarkan dengan analis big data dan machine learning belum secanggih yang sudah lama terdaftar di OJK. 

Baca Juga: Tingkatkan layanan, LinkAja fokus kerjasama dengan berbagai sektor ini pada 2020

"Apabila perusahaan fintech masuk ke dalam daerah atau provinsi yang tingkat penetrasinya masih rendah, artinya belum dapat terkumpul ke sebuah big data untuk bisa diolah di mesin tersebut," kata Tumbur.

Masyarakat juga belum teredukasi dalam pinjaman menggunakan teknologi seperti fintech lending. Selain itu, masyarakat belum  teredukasi untuk membayar tepat waktu karena sudah terbiasa dengan adanya jaminan.

Oleh karena itu semakin meluasnya penyelenggara fintech untuk ekspansi ke beberapa meskipun itu akan mempengaruhi tingkat NPF.

Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi mengatakan, dalam waktu 3 tahun fintech bisa menunjukkan kemampuannya, termasuk mendukung ekosistemnya.

"Tahun ini kita wajibkan penggunaan dokumen elektronik, penggunaan credit scoring, penggunaan asuransi, dan penggunaan desk collection," kata Hendrikus.

Baca Juga: OVO ajak pengguna donasi digital untuk banjir

Menurut Hendrikus, untuk tagihan lebih dari 90 hari itu dilakukan penagihan oleh 6 desk collection di AFPI. Tidak sulit bagi OJK mulai melakukan pelaporan bahwa siapa pihak yang tidak bertanggungjawab saat dilakukan penagihan.

"Perkembangan kami yang semakin maju sejalan dengan pengembangan fintech data center, melampaui penggunaan digital signature. Sehingga diharapkan nanti sulit bagi para borrower untuk melakukan pemalsuan data seperti KTP," kata dia. 

Jadi benar lokasinya, identifikasinya, ini yang dikatakan untuk memitigasi resiko fraud," tegasnya.

Baca Juga: Sepanjang 2019, P2P lending GandengTangan salurkan pinjaman Rp 14 miliar

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×