Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penyaluran kredit ekspor impor masih menghadapi tantangan besar sejalan dengan kondisi ekonomi global. Kondisi tersebut bikin kinerja perdagangan ekspor impor mengalami perlambatan.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat perdagangan ekspor Indonesia pada November sebesar US$ 14,01 miliar. Itu turun 6,17% dibandingkan bulan sebelumnya dan menurun 2,9% dibandingkan periode yang sama tahun lalu (year on year/YoY).
Baca Juga: Saham perbankan topang penguatan IHSG pada perdagangan hari ini
Adapun impor mencapai US$ 15,34 miliar atau naik 3,94% dibanding bulan sebelumnya, namun turun 9,1% YoY.
PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) mengakui pembiayaan ekspor impor tertekan dengan adanya perang dagang tahun ini. Sementara kesepakatan perdagangan fase pertama antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok diperkirakan baru akan terlihat dalam beberapa bulan mendatang dan membawa dampak positif pada tahun 2020.
Meski tantangannya besar, Bob Tyasika Ananta, Direktur Bisnis Internasional & Tresuri BNI mengatakan pihaknya masih berhasil mencatat pertumbuhan volume transaksi pembiayaan ekspor. Per November 2019, volume transaksi naik 13,15%.
"Hal itu ditopang oleh kenaikan komoditas pertambangan, bahan kimia dan pertanian. Negara tujuan ekspor dominan ke negara Singapura, Tiongkok dan Jepang," jelasnya pada Kontan.co.id, Rabu (18/12).
Baca Juga: Bankir pastikan di akhir tahun perebutan DPK bakal semakin sengit
Namun, dari sisi pembiayaan impor mengalami penurunan. Volume transaksi pembiayaan impor BNI melorot sebesar 12,76% YoY. Penurunan terjadi dari komoditas minyak dan gas, tekstil, sektor electrical, serta dari sektor baja.
Khusus pembiayaan ekspor-impor BNI yang diberikan oleh Kantor Cabang Luar Negeri (KCLN) masih mengalami pertumbuhan hingga November 2019 mengalami sebesar 28,7% YoY.
Seiring dengan adanya perkembangan positif dari hubungan AS-China, BNI memperkirakan pembiayaan ekspor impor tahun depan akan lebih baik. Perseroan menargetkan pertumbuhan sebesar 10%.
Untuk mencapai target pertumbuhan tersebut BNI di dalam negeri aktif melakukan pendampingan dan advisory kepada eksportir di Indonesia. Selain itu,lanjut Bob, perseroan akan mengoptimalkan peran Kantor Cabang Luar Negeri (KCLN) di Singapura, Hongkong, Tokyo, Seoul, London dan New York dalam memperdalam akses dan pengetahuan pasar di luar negeri untuk dapat memberikan pembiayaan kepada perusahaan Indonesia Related secara selektif dan prudent.
Berbanding terbalik dengan BNI, PT Bank Central Asia Tbk (BCA) justru mengalami penurunan dari sisi ekspor dan masih mencatat pertumbuhan dari sisi pembiayaan impor. Per November, kredit ekspor perseroan turun 2,8% YoY menjadi sebesar Rp 1,8 triliun dan kredit impor mengalami kenaikan 13,4% YoY menjadi sebesar Rp 5,9 triliun.
Hera F. Haryn, Executive Vice President Divisi Sekretariat dan Komunikasi Perusahaan BCA mengatakan, penurunan kredit ekspor dan kenaikan kredit impor BCA sejalan industri perbankan.
Baca Juga: Diakuisisi Bangkok Bank, Moody's Pertimbangkan untuk Menaikkan Peringkat Bank Permata
Sementara berdasarkan data otoritas Jasa Keuangan (OJK), kredit berorientasi ekspor dan impor dari bank umum masih mengalami masih mengalami pertumbuhan pada kuartal III 2019. Namun, pertumbuhan kredit impor mengalami penurunan, sedangkan pertumbuhan kredit ekspor masih tercatat naik.
Total kredit berorientasi ekspor kepada pihak ketiga bukan bank tercatat sebesar Rp 133,78 triliun atau tumbuh 7,6% dibanding periode yang sama tahun lalu (year on year/YoY). Adapun pada kuartal III 2018 hanya tercatat tumbuh 4,2% YoY.
Sementara kredit berorientasi impor tercatat sebesar Rp 82,39 triliun atau tumbuh 14,3% YoY. Pada periode triwulan III tahun lalu, kredit impor masih tumbuh sebesar 19,4% YoY.
(Dina Hutauruk, M. Osanda)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News