kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Undang-Undang BI bakal direvisi, begini pendapat bankir dan pengamat


Selasa, 01 September 2020 / 19:36 WIB
Undang-Undang BI bakal direvisi, begini pendapat bankir dan pengamat
ILUSTRASI. logo Bank Indonesia


Reporter: Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah saat ini tengah mengkaji rencana reformasi sistem keuangan Indonesia melalui perluasan tugas Bank Indonesia lewat revisi Undang-Undang Bank Indonesia (BI). Saat ini Badan Legislasi (Baleg) DPR RI tengah menyusun draf revisi UU tersebut dan akan segera membahasnya. 

Singkatnya, rencana ini menggaungkan kembali wacana pengembalian fungsi pengawasan perbankan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ke Bank Sentral. 
Menanggapi hal tersebut, Direktur Manajemen Risiko PT Bank Mandiri Tbk Ahmad Siddik Badruddin mengatakan, sebagai pelaku usaha sebenarnya pihaknya tidak mempersoalkan fungsi pengawasan ada di pihak mana. 

Namun, dia menyatakan bahwa apabila perlu dibenahi sebaiknya fungsi pengawasan oleh regulator menjadi lebih ringkas dan tidak tumpang tindih. 

Baca Juga: Ada dewan moneter, BI bakal dikendalikan pemerintah?

Misalnya saja, saat ini pengawasan industri jasa keuangan di bawah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memang punya spesifikasi tersendiri. Menurut Siddik, sebaiknya perlu dipikirkan mengenai tren konglomerasi keuangan yang semakin meningkat. 

Sebagai contoh misalnya, Bank Mandiri yang saat ini punya 12 anak perusahaan per tahun 2020 di sektor industri jasa keuangan. Jumlah tersebut lebih banyak dibandingkan jumlah anak usaha Bank Mandiri atau Grup Bank Mandiri di tahun 2000 yang ada 9 perusahaan. 

Lalu contoh lainnya, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) yang pada tahun 2000 silam hanya memiliki dua anak usaha saja, kini di tahun 2020 BNI telah memiliki lima anak usaha. 

"Harus diperhatikan bagaimana pola pengawasan atau monitoring yang efektif terhadap grup-grup ini, sebagai bagian dari konglomerasi keuangan," katanya dalam Live Webinar di Jakarta, Selasa (1/9). 

Sejatinya, bila memang aturan tersebut bakal direvisi maka pemangku kebijakan harus mengkaji kembali regulasi yang ada. Setidaknya ada lima poin penting peningkatan pengawasan industri jasa keuangan yang perlu diperhatikan menurut Siddik. 

Pertama, optimalisasi pertukaran informasi baik intra maupun antar regulator untuk mengoptimalkan koordinasi. Kedua, integrasi perizinan. 

Ketiga, standarisasi kerangka kerja regulasi dan pengawasan terutama untuk konglomerasi keuangan. 

Keempat, regulasi penerapan stress testing untuk konglomerasi keuangan. 

Kelima, regulasi penerapan recovery plan untuk konglomerasi keuangan. 

Tetapi di luar itu, Siddik juga menyampaikan agar pemangku kebijakan saat ini bisa memilah atau menyesuaikan kebijakan sesuai dengan kebutuhan. 
Apabila itu bersifat jangka menengah dan panjang, tentu perlu pengkajian yang lebih dalam semisal mengadopsi best practice di negara lain. 

Sementara itu, Ketua Bidang Pengkajian dan Pengembangan Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas) Aviliani menyebut ada dua hal yang saat ini perlu dibenahi ke depannya. Hal pertama yaitu lembaga pengawas dalam hal ini Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) sebaiknya diperkenankan mengambil keputusan. 

"Misalnya, OJK diberi kewenangan boleh (memberi izin) merger atau akuisisi, tapi tidak punya uang. Kalau kasih rekomendasi tapi tidak punya uang akhirnya orang lain yang mengerjakan," katanya dalam Webinar yang sama. 

Baca Juga: DPR Gagas Revisi UU BI, Independensi Bank Indonesia Dipangkas

Kedua, Aviliani menilai fungsi Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) harus diperkuat. Sebab, aturan yang berlaku menyatakan bahwa LPS hanya boleh bertindak ketika salah satu bank dinyatakan gagal. 

"Kalau LPS menunggu bank gagal, baru ditangani justru mahal. Justru ketika ada bank bermasalah, mungkin aset bagusnya diambil investor dan aset bermasalahnya saja yang diurus LPS," terangnya. 

Menurut Aviliani, dalam melakukan revisi kebijakan pemerintah harus lebih teliti melihat dampak ke depannya. Terutama dampak terhadap kondisi pasar. 

Di sisi lain, Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) menggarisbawahi, revisi aturan tersebut baru bisa dilakukan apabila ada kebutuhan mendesak.

Bila tetap dilakukan, ia  menilai hal tersebut justru dapat menempatkan BI dan OJK menjadi tidak independen lantaran dapat diintervensi oleh pemerintah. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×