Reporter: Nina Dwiantika | Editor: Dessy Rosalina
JAKARTA. Memasuki paruh kedua tahun ini, perbankan tancap gas mengamankan likuiditas valuta asing (valas). Sebagai bukti, perbankan mengajukan izin otoritas untuk meraih utang luar negeri sebesar US$ 6 miliar.
Rencana bank meraih dana segar dari luar negeri ini tertutang lewat rencana bisnis bank (RBB) tahun 2014. Dari total permohonan utang luar negeri US$ 6 miliar, Bank Indonesia (BI) hanya merestui 50% atau US$ 3 miliar.
Halim Alamsyah, Deputi Gubernur BI, mengatakan, permohonan utang luar negeri yang diajukan perbankan dalam bentuk pinjaman dari induk bank, pinjaman bilateral, dan surat utang. "Tujuannya untuk pinjaman siaga, ekspansi usaha, dan bangun gedung," ujar Halim, akhir pekan lalu.
Mengamankan likuiditas menjadi salah satu alasan bank mencari utang dari negeri seberang. Berdasarkan data BI, dana pihak ketiga (DPK) valas di akhir April sebesar Rp 597,28 triliun, susut 6,5% dalam hitungan empat bulan atau dari posisi akhir tahun 2013 (lihat tabel).
Makanya, tak heran jika tumpukan utang luar negeri terus mendaki. Di akhir April lalu, posisi utang luar negeri bank sebanyak US$ 25,45 miliar, naik 5,56% dibanding dengan akhir tahun lalu. Achmad Baequni, Direktur Keuangan Bank Rakyat Indonesia (BRI), mengatakan, pihaknya memang membutuhkan dana valas. Namun, BRI tidak mau jorjoran memupuk likuiditas valas.
Kini, BRI tengah memproses utang valas sebesar US$ 350 juta. Utang luar negeri ini bakal digunakan untuk refinancing utang jatuh tempo. "Kebutuhan utang luar negeri tidak banyak, kecuali hanya untuk replace yang sudah mau jatuh tempo," kata Baequni.
Pertahankan likuiditas
Lain lagi dengan Bank OCBC NISP. Parwati Surjaudaja, Presiden Direktur Bank OCBC NISP, mengatakan, pihaknya memiliki outstanding pinjaman luar negeri sebesar US$ 200 juta. Dalam waktu dekat, OCBC NISP berencana menambah pinjaman lagi sebesar US$ 200 juta–US$ 300 juta. "Tujuannya untuk diversifikasi suku bunga dana," jelas Parwati.
Jahja Setiatmadja, Presiden Direktur BCA, mengatakan, pihaknya hanya berupaya mempertahankan likuiditas valas di kisaran US$ 3 miliar– US$ 3,5 miliar. Alasannya, di masa mendatang likuiditas valas boleh jadi mengetat karena kebijakan pengetatan stimulus oleh bank sentral AS, The Fed.
Dus, BCA mengerem penyaluran kredit valas maksimum US$ 2 miliar. "Sisa DPK valas yang lain untuk jaga likuiditas," ujar Jahja.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News