Reporter: Wahyu Satriani | Editor: Edy Can
JAKARTA. Langkah Bank Indonesia (BI) mewajibkan perbankan mengumumkan suku bunga dasar kredit (SBDK) atau prime lending rate layak mendapatkan apresiasi. Sejumlah kalangan, terutama dari pengusaha, menyambut baik lantaran kebijakan ini bisa menggiring bank menurunkan bunga kredit. Permintaan kredit bisa bergairah.
Tapi, dibalik euforia itu juga tersimpan kekhawatiran lain. Jika penerapan aturan ini tak terkontrol, kebijakan ini berpotensi menimbulkan ketidakstabilan ekonomi. Menurut ekonom Mirza Adityaswara, karena bank berusaha tampil cantik dengan berlomba-lomba menurunkan skor SBDK, permintaan kredit bisa melonjak. Nah, di sini potensi bahaya itu muncul.
Penyaluran kredit dengan suku bunga yang terlalu rendah akan mengurangi prinsip kehati-hatian perbankan. Akibatnya, rasio kredit bermasalah atawa non-performing loan (NPL) bisa melejit.
Suku bunga yang terlalu rendah juga tidak bagus. "Lihat saja, di Amerika terjadi bubble economy. Di sana kredit gampang, tapi NPL tinggi," ujar Mirza, Selasa (1/3).
Suku bunga perbankan di beberapa segmen seperti korporasi dan kredit pemilikan rumah (KPR) saat ini sudah cukup kompetitif. Namun, bunga kredit sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) serta ritel, belum kompetitif karena suku bunga yang dipatok oleh perbankan masih tinggi.
Meski demikian, Mirza menilai kebijakan BI ini cukup baik untuk mendorong pertumbuhan kredit dan penurunan suku bunga kredit. Juga meningkatkan kompetisi bank terutama di segmen UMKM dan ritel.
Pentingnya edukasi
Selain potensi kredit macet, kebijakan ini juga dikhawatirkan menimbulkan ketidakpercayaan antara bank dan nasabah. Ekonomi Aviliani mengatakan, potensi konflik itu muncul karena nasabah belum memahami SBDK yang tidak mencerminkan bunga kredit. Perhitungan SBDK belum memasukkan unsur premi risiko. "Tugas BI adalah mendidik masyarakat tentang premi risiko dan apa itu SBDK," kata dia.
Menurut komisaris Bank Rakyat Indonesia ini, bisa saja bunga kredit bank jauh lebih tinggi dari SBDK yang dipublikasikan. "Masyarakat juga belum tentu paham premi risiko, debitur UMKM tidak sama dengan korporasi," kata dia.
BI mewajibkan bank mengumumkan SBDK mulai Maret ini. Direktur Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan BI Wimboh Santoso menjelaskan, kebijakan ini merupakan dorongan agar bank transparan, sehingga penetapan bunga kredit bisa lebih fair. "Nasabah biar tahu komponen SBDK. Nanti ketahuan bahwa bank yang ini tidak seefisien dibanding bank yang lain," kata dia.
Pengaruh terhadap bunga kredit tidak bersifat langsung, karena sasaran utamanya adalah transparansi. "Kalau suatu bank tidak efektif dan biayanya terlalu tinggi kan dia akan malu dan akan menurunkan biayanya," kata Wimboh. Dengan menimbulkan budaya malu, BI berharap bunga kredit turun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News