Reporter: Annisa Aninditya Wibawa |
JAKARTA. Analis menilai, perusahaan asuransi harus berani menempatkan portofolio investasinya langsung ke pasar modal. Sebab, hingga saat ini, porsi investasi mereka, khususnya asuransi jiwa terhitung masih sedikit.
Berdasarkan data Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), sekitar 60% portofolio mereka mengalir ke reksadana. Kemudian sisanya baru murni dari saham, obligasi, serta deposito.
Vice President Head of Equity Research Danareksa Sekuritas, Chandra Pasaribu, usai Seminar HUT ke-33 Media Asuransi, di Hotel Borobudur, Rabu, (6/3) menilai sudah waktunya perusahaan asuransi menaikkan keberaniannya mengambil risiko investasi.
Terlebih, karena inmbal hasil yang diperoleh dari produk bank sudah kurang menarik. “Dulu, asuransi dimanjakan dengan bunga yang tinggi, tapi sekarang? Tingkat return dari produk itu hanya berkisar 4%-5%. Secara otomatis, harus ada perubahan portofolio ke aset yang memberikan untung lebih tinggi,” sarannya.
Menurutnya, untuk mengontrol tambahan risiko yang sepadan dengan imbal balik yang dihasilkan, perlu ada proses pembelajaran. Asuransi juga harus memiliki struktur tim investasi yang kuat dalam tubuh perusahaan.
“Selain itu, tantangan asuransi saat ini adalah menyeimbangkan Risk Based Capital (RBC) dan menyelaraskan tujuan sesuai investasi,” ungkapnya. Ini karena tiap perusahaan asuransi pasti mempunyai target return investment. Hal tersebut digodok dalam investment policy.
Ia menilai, perusahaan asuransi terlalu banyak membicarakan klaim dan belum banyak menyentuh sisi investasi. Dalam neraca, klaim masuk ke dalam liabilities, lalu investment masuk ke dalam aset. “Balance sheet harus seimbang,” ujarnya.
Perlu diketahui, asuransi banyak memilih investasi ke aset yang berisiko rendah karena mereka juga harus berjaga-jaga andaikata ada lonjakan klaim.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News