Reporter: Adrianus Octaviano | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Baru-baru ini, Bank Indonesia (BI) mengeluarkan aturan permodalan minimal bagi penyedia jasa pembayaran (PJP) yang berlaku juga bagi dompet digital seperti OVO, Gopay, Dana, Shopeepay, dan Link Aja. Hal ini bisa jadi membuka peluang bagi pemain fintech pembayaran melakukan penawaran saham perdana (IPO) untuk mengincar lebih banyak dana.
Asal tahu saja, tren IPO fintech pembayaran telah marak terjadi di bursa luar negeri terlebih saat pandemi Covid-19 meningkatkan kinerja mereka. Ambil contoh, Shift4 Payments Inc yang sudah melantai di bursa pada Juni 2020 dan Paya Holdings yang juga sudah listing pada Oktober 2020.
Terbaru, ada juga perusahaan transaksi pembayaran asal Amerika Serikat Flywire Corp yang telah melantai di bursa pada Mei lalu yang berhasil meningkatkan valuasi menjadi US$ 3,5 miliar di hari pertama perdagangan.
Baca Juga: Tokko dan LinkAja berkolaborasi dorong inklusi digital bagi pelaku UMKM Indonesia
Direktur Anugerah Mega Investama Hans Kwee mengatakan, ada peluang bagi pemain dompet digital melakukan IPO setelah ada aturan baru terkait minimum permodalan. Terlebih, saat ini Bursa Efek Indonesia (BEI) sudah membuka kesempatan bagi perusahaan rintisan berbasis teknologi untuk melakukan IPO yang diawali oleh Bukalapak.
Hanya saja, ia bilang, masih ada banyak tantangan bagi pemain dompet digital untuk meningkatkan kinerjanya sebelum melakukan IPO. Menurutnya, pemain dompet digital ini masih perlu menciptakan loyalitas pengguna dan melakukan transformasi yang lebih seiring mulai adanya persaingan dari kemunculan bank-bank digital.
“Contohnya saja, saya ini punya semua akun di beberapa dompet digital ini dan saya akan memilih untuk memakai yang ada diskonnya. Hal ini menyebabkan jumlah dana yang kita simpan di dompet digital ini pun tidak banyak dan tidak ada repeat order sehingga menimbulkan masalah dari valuasi perusahaan,” ujar Hans kepada KONTAN, akhir pekan lalu.
Terkait valuasi, Hans menjelaskan, bagi dompet digital yang terpenting dan perlu diperhatikan ialah jumlah pengguna dan seberapa sering pengguna memanfaatkan layanan yang ada untuk melakukan pembayaran. Setelah itu, berkaitan dengan seberapa besar dana yang didepositkan di aplikasi tersebut dan total jumlah transaksi yang terjadi.
“Baru terakhir, kita melihat pendapatan perusahaan dari transaksi yang terjadi dan laba atau rugi yang dialami,” tambah Hans.
Sedikit berbeda, Head of Investment Research Infovesta Utama Wawan Hendrayana mengatakan, kemungkinan pemain dompet digital untuk melakukan IPO masih sangat jauh. Meskipun misalnya mereka membutuhkan dana untuk memenuhi permodalan, masih mudah untuk mencari strategic investor.
“Pembayaran via elektronik ini dipandang masih berpotensi sangat besar di indonesia dan menarik minat banyak strategic investor, jadi belum butuh IPO. Permodalan mereka juga masih tercukupi dari strategic investor,” ujar Wawan.
Baca Juga: Transaksi dompet digital alami kenaikan di kala pandemi
Sebagai informasi, dalam aturan permodalan baru syarat modal disetor untuk PJP memiliki 3 kategori. Diantaranya untuk kategori izin 1 senilai Rp 15 miliar dan untuk kategori izin 2 sebanyak Rp 5 miliar.
Sedangkan kategori izin 3 untuk yang tidak menyediakan sistem bagi penyelenggara lain minimal modal disetor Rp 500 juta dan bila menyediakan sistem bagi penyelenggara lain maka minimal modal disetor Rp 1 miliar.
Wawan juga berpendapat, fintech pembayaran di Indonesia belum bisa disamakan dengan yang ada luar negeri karena fintech pembayaran tersebut sudah tidak dalam tahap eksponensial growth lagi sehingga investor awalnya menginginkan exit strategi dengan cara IPO.
“Di tengah persaingan yang masih ketat saya tidak melihat ada urgensi untuk IPO, yang bakal IPO duluan pasti induknya dulu. Kalaupun untuk menaikan value dengan IPO mungkin akan merger dengan entitas lain dulu,” tambah Wawan.
Sebagai salah satu pemain dompet digital, DANA memang tidak menampik bahwa IPO sebagai bagian dari dinamika bisnis yang dapat bermanfaat bagi perusahaan. Hanya saja saat ini pihaknya masih berfokus untuk mengembangkan teknologi untuk menuju transformasi keuangan digital yang semakin inklusif di Indonesia.
“DANA masih berada di tahapan awal di mana edukasi dan pengalaman-pengalaman baru dalam bertransaksi digital harus terus digencarkan.” ujar Vince Iswara selaku CEO & Co-Founder DANA kepada KONTAN.
Pada semester pertama tahun 2021, DANA telah mencatat pertumbuhan kinerja yang didorong oleh pandemi covid-19 yang membuat masyarakat beradaptasi dengan transaksi digital. Mereka mencatat rata-rata jumlah transaksi harian naik ke 4,8 juta di periode tersebut.
Head of Corporate Communication OVO Harumi Supit juga tidak banyak berkomentar terkait peluang OVO untuk melakukan IPO dalam waktu dekat. “Dalam waktu dekat, fokus kami terpusat pada pengembangan layanan dan peningkatan manfaat bagi user termasuk UMKM,” ujarnya.
Selanjutnya: OVO ajak pengguna donasi secara digital melalui mitra ZISWAF dan Crowdfunding
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News